THIN LINE (GARIS TIPIS) - 01

Sunday, June 26, 2016

ye :^)

Sang Surya menyinari dunia dengan cahaya kehangatannya. Pepohonan tertiup angin mengeluarkan suara yang menenangkan hati. Suara bola memantul menciptakan ritme yang memiliki tempo teratur. Ia melihat dua lelaki yang saling bertarung di pertandingan bola tenis. Gelak tawa mereka dihiasi dengan tepuk tangan wanita yang duduk di bawah pohon—Shania. Setiap akhir pekan mereka selalu berkunjung ke suatu tempat; mulai dari pantai, pegunungan, hingga perkemahan di hutan. Persahabatan mereka dimulai sejak mereka belia, mereka bertemu di pertemuan pekerjaan orang tua mereka. Sejak saat itu, mereka selalu bermain, mengingat orang tua mereka yang sangat sibuk bekerja.

Akhir pekan ini hanyalah waktu di mana mereka semua berkumpul dan menghibur satu sama lain. Shania merupakan yang paling muda, jadi ia harus bersekolah, apalagi mengingat sebentar lagi gadis dara itu sudah menginjak masa kuliahnya. Tak jarang ia harus belajar sampai tak meluangkan waktunya untuk bertemu kedua lelaki tersebut.

“Sha, kok bengong? Sha!” teriak tantenya—Amira—mengaburkan suasana. Tantenya berusia 27 tahun, sudah memiliki anak, hanya saja belum menikah lagi. Alias seorang
janda. Kesibukannya menjadi seorang ibu tunggal untuk anak bayinya itu yang membuatnya tak bekerja seharian. Melainkan hanya membantu Shania belajar. Rasanya pendidikan yang ia tempuh sampai strata dua pun sia-sia.
Romannya cantik dengan keriput yang tersurat di senyumannya. Amira merupakan wanita kuat secara mental, toh ia sudah ditinggali oleh pria—yang dulunya suaminya—tidak bertanggungjawab.

“Apa? Sorry, Tan. Aku terbawa suasana aja.” Shania menunjukkan deretan giginya yang putih nan berkilau. Lesung pipitnya terukir seraya ia tersenyum simpul. Seragam yang ia pakai merupakan busana yang biasanya dipakai saat bermain tenis. Kaus dengan rok pendek yang senada membuat tampilannya semakin modis saja.

“Jangan bengong terus. Percuma pergi, kalau gitu. Mending liat Hans sama Luke lagi main, tuh. Sampe keringetan, bawain minum gih.” ya, seorang Amira memang perhatian, apalagi kalau soal laki-laki tampan. Tapi dia bukanlah ‘hanya’ janda haus akan lelaki. Dia berada di tingkat yang terhormat—janda haus terhormat. Kedua tangannya dilipat di atas dadanya. Kalau belum terlalu kenal, pasti orang-orang mengiranya seorang wanita kuat, tegas, dan pemberani. Nyatanya, amit-amit genitnya.

“Iya, iya. Sahabat yang baik emang harus perhatian, Tan. Kalau Tante mah mentingin gantengnya doang. Ya, enggak, sih?” ejeknya. Gelak tawa terdengar dari kedua wanita tersebut. Amira yang langsung tertawa lepas begitu saja tanpa menjaga image-nya membuat keunikan tersendiri. “sahabat, ya?” pikir Shania.

Hans, lelaki berusia 22 tahun—selisih enam tahun dengan Shania—yang bersifat dewasa. Apapun dari dirinya sudah 'matang’. Ia bekerja di kantor pengacara ayahnya setelah mendapat gelar sarjana hukum dan menyelesaikan magangnya. Surainya yang kecoklatan ia tata dengan sebaik mungkin agar mencerminkan sifatnya yang maskulin. Pendek dengan jambul di atas keningnya. Namun sayangnya ia merupakan lelaki pemarah, apalagi dengan orang yang mengganggu dirinya maupun siapapun yang ia peduli. Kata-katanya berubah menjadi ultimatum pahit kalau ia sudah melewati ambang batas.

Berbeda dengan Luke, adik laki-lakinya. Ia sedang berada di masa-masa perkuliahan, sehingga sifatnya juga seperti anak muda masa kini. Rambutnya yang mengikuti tren jaman sekarang membuat sensasi menggelitik di perut, apalagi dia adalah seseorang yang humoris. Terlalu humoris. Leluconnya ia buat sedemikian rupa untuk menyerang kakaknya, Hans. Sifatnya yang berkontradiksi dengan kakaknya bak saudara yang tidak pernah akur, namun saling menyayangi.

Shania, gadis yang tak mencolok sama sekali; gadis yang kaku; gadis yang lugu; dan gadis yang naif. Gadis naif yang berada di tengah-tengah dua bersaudara. Sifat mereka yang sama sekali tidak sama membuat mereka tidak bisa bersatu; tapi bisa saling melengkapi. Rambut ikal panjang miliknya berwarna pirang pucat. Senada dengan kulitnya yang juga pucat. Dilengkapi oleh bibir merah muda dan mata dengan iris berwarna biru muda. Melihatnya saja sudah seperti hantu, tapi hantu cantik menawan.

“Shania kok bengong aja, Mir?” suara berat khas lelaki itu menghamburkan pikiran-pikiran Shania. Sepasang matanya langsung menuju sosok Hans. Badan atletisnya yang dibasahi keringat itu membuat pipinya mengukir semburat merah. Ia secara spontan melemparkan handuk kecil yang ia jadikan bantal. “buat apa pake seragam gitu kalau enggak ikut main, Shan?” lanjutnya.

“Iya, Sha. Ikut main, dong! Biar ikut keringetan juga, nanti kan jadi…gitu…” Luke mengikuti arah pembicaraan, deretan gigi putihnya ia tunjukkan diikuti dengan tangannya yang memberi Shania sebuah raket.

“Mesum banget, sih.” ejek kakaknya.

Shania menepis tangan Luke, “Liat, tuh. Sekarang gilirannya Tante Amira sama om-om itu,” Shania menunjuk lapangan di pojok kiri, mata mereka berdua mengikuti arah jari tersebut. “mending kalian duduk, capek, 'kan?”

“Biasa, dia lagi laper. Mau makan cowok ganteng.” ejek Hans. Kata-kata menusuknya sudah saja ia keluarkan.

*****

Luke dan Hans menginap di kediaman Shania dan keluarga setelah undangan makan malam. Luke sedang sibuk bermain telepon genggamnya, tak jelas apa yang ia mainkan. Ia terus menyentuh teleponnya secara brutal, mengingat bahwa nama permainannya itu Tahu Bulat. Permainan yang menurut Hans aneh, masa cuma ngeklik doang sampe bego.

Dari semua kata-kata yang berupa fakta yang ia keluarkan. Ia hanya tak bisa menampik fakta kalau ia menyukai Shania. Satu-satunya perempuan yang mau berteman dengannya, setelah sekian banyak perempuan-perempuan yang pergi begitu saja setelah mendengar kata-kata pahit darinya.

Seketika Hans mengingat kejadian setahun lalu.

Malam itu, malam yang terus ia ingat. Malam tak berbintang, atmosfir yang cukup membuat merinding, apalagi dibubuhi dengan suara cicak dan jangkrik yang menyeramkan.

Angin yang menghembus menusuk sampai ke tulang. Hans berdiri di balkon seraya memainkan jarinya di telepon di genggamannya; dikelilingi oleh rasa penasaran mengapa seorang gadis lugu—apalagi seorang Shania—belum pulang juga. Orangtuanya sedang ada rapat, sehingga harus melewatkan malam di rumahnya. Mereka menitipkan pesan agar Hans memeriksa keadaan Shania sepulang ia kerja. Mengingat pembantu rumah tangga yang belum mereka bisa berikan ikatan kepercayaan.

Sudah belasan kali ia menelepon, tak kunjung dijawab juga. Rasa khawatirnya melebihi rasa khawatir seorang teman, ia seperti pengawas Shania si gadis ceroboh. Sudah pukul sepuluh malam, “Apa-apaan sih anak itu?” pikirnya.

Suara mesin mobil terdengar menusuk di gendang telinga, instingnya mengatakan bahwa itu adalah Shania. Tapi ada apa gerangan ia bisa pulang sendiri? Naik taksi? Ia melihat ke bawah, tidak, itu bukan taksi. Melainkan mobil pribadi. Hans menggelengkan kepalanya, “Anak muda.”

Hans spontan turun dan mengintip, siapa yang mengantar Shania; dan darimana saja ia, sampai pulang telat seperti ini?
Pria yang mengintip dari ambang pintu itu kaget, melihat ia diantar oleh seorang pria yang kira-kira sebaya dengannya. Tatapan pria yang mengantarnya menyiratkan afeksi, sedangkan tatapan Hans pada pria itu menyiratkan agresi. Darahnya mendidih melihat tangannya yang menggenggam lengan tangan Alvela. Hans menggertakan giginya dan mengepalkan tangannya.

Senyuman yang dilukis di wajah Alvela pun sangat manis. Senyuman yang tak pernah ia berikan ke siapapun, senyuman yang baru pernah Hans lihat saat ini. Senyuman seorang gadis dewasa yang sangat cantik. Faktanya, gadis tercantik yang pernah ia lihat. Alvela yang dari dulu ia lihat sebagai gadis naif dan kekanak-kanakan, sekarang ia lihat sebagai gadis dewasa.

Pria tersebut sempat bertukar pandang dengan Hans sebelum ia melepaskan genggamannya dan meninggalkan Shania.

Shania membuka pagar tinggi, disambut oleh pandangan menyeramkan dari Hans yang cukup membuatnya bergidik ngeri. Ia mencoba mengulur waktunya dengan berpura-pura melepas sendal dan berkutik dengan kunci pagarnya.

“Habis dari mana?” pertanyaan itu menusuk Shania, ia mengabaikannya, kembali memainkan kunci pagarnya. Ia menghela nafasnya, bersiap untuk kemarahan sang Hans. Ia melihat Hans menghampirinya, merebut kunci itu dari genggamannya dan melemparnya ke sembarang arah, “habis dari mana?” ia bertanya kedua kali. Kali ini emosi Hans membludak, mata Shania terbelalak kaget.

“Janjian sama temen.” jawabnya. Ia berusaha keras agar tidak menatap Hans. Pria itu menggenggam erat-erat tangan Shania agar ia tak berusaha untuk kabur. Raut wajahnya saja sudah jelas—dia sedang marah besar.

“Terus kenapa baru pulang jam segini? Engga bawa jam atau gimana, sih? Atau sengaja lupa waktu biar bisa main-main sama temen, gitu? Buang-buang waktu aja, sih. Baru kelas dua SMA kok udah keluyuran? Sok dewasa, nih?” ucapnya dengan nada sinis. Pupil Shania mengecil, tidak percaya kalau ucapan Hans bisa setajam itu. Saking tajamnya, kata-katanya menusuk sampai dadanya sesak. Genggamannya pun semakin erat. Shania masih tidak berani untuk menatapnya.

“Itu kakak kelas kamu yang tadi pagi katanya jemput, 'kan? Masih beruntung hari ini orangtua kamu lagi engga ada di rumah. Tapi sialnya, saya ada. Jadi kamu enggak ada kesempatan buat keluar malem. Eh tetep aja ngeyel. Apalagi pulangnya sama cowok, jangan jadi cewek kayak gitu, deh, Shan.”

“…jangan jadi cewek kayak gitu…”

“…cewek kayak gitu…”

Kata-kata itu menusuk hati Shania. Ia tahu perbuatannya salah, yang ia perbuat tak jauh dari bermain ke mall bersama teman-temannya dan terjebak di kemacetan. Tak jauh dari itu. Tapi entah kenapa, ia tahu kata-katanya takkan bisa digunakan untuk melawan Hans.

Melawan kata-kata pahitnya.

Shania selalu berpikir bahwa ia hanyalah satu-satunya orang yang tidak diberikan kata-kata pahit oleh Hans. Tapi ternyata sama saja. Justru kata-kata yang diluncurkan untuk memarahinya jauh lebih pahit dari kata-kata yang biasa ia gunakan untuk mencaci orang lain.

Matanya mulai berkaca-kaca.

Ia memandang Hans dengan matanya yang berkaca-kaca tersebut. Pria tersebut melepaskan tangannya, merubah raut wajahnya yang tadinya wajah geram menjadi wajah iba. Hans sendiri tak percaya kalau ia telah menyakiti hati perempuan yang ia pedulikan. Biasanya ia tak pernah menyesal telah menyakiti hati orang lain, namun kali ini sungguh berbeda.
Shania berlari, diikuti oleh Hans, “Tunggu, Shan, sorry!”

”…sorry…“

Shania mengunci pintu kamarnya setelah mengenyahkan Hans. Ketukan tak berirama terdengar dari pintunya, permintaan maaf dari Hans terngiang di kepalanya. Setelah beberapa menit sebelum suara ketukan itu hilang. Diikuti oleh suara jejak yang lama kelamaan menghilang. Shania berpikir bahwa itu suara Hans yang menyerah.

*****

Sudah beberapa hari Hans tidak berbicara dengan Shania. Shania seperti menjauh dari pria tersebut, padahal dari dulu mereka terlihat seperti adik-kakak. Sekarang peran Hans digantikan oleh Luke. Canda tawa dan senyuman yang harusnya Shania berikan kepada Hans justru ia berikan kepada Luke. Hans hanya bersikap seolah tidak peduli, nyatanya ia seperti jijik dengan dirinya sendiri. Minta maaf yang benar saja ia tidak bisa.

Hans hanya duduk di pekarangan belakang menyaksikan Luke dan Shania sedang tertawa dan duduk berseberangan. Keduanya tampak bahagia tanpa menghiraukan sosok Hans yang berada di belakang mereka.

"Mama udah nyuruh pulang, Luke. Aku pulang dulu, ya.” suara halus Shania rasanya menyegarkan bagi Hans. Andai saja ia berbicara kepadanya.

“Naik apa?”

“Taksi. Atau anterin, ya? Hehe.” Shania tertawa geli. Persahabatannya dengan Luke sudah dijalin semenjak kecil, seperti Hans juga.

“Dianterin sama Hans gapapa, 'kan? Kunci mobil ketinggalan, sumpah.” jawaban Luke membuat Shania kecewa.

“Enggak usah, deh. Naik taksi aja. Dah..” penampikan Shania menciptakan gelengan di kepala Luke, heran mengapa kakaknya dan Shania seperti sedang berkelahi. Shania pergi ke halaman depan untuk berjalan mencari taksi.

Luke masuk ke rumahnya, bersikap seolah tadi bukan apa-apa.

Hans menarik tangan Shania, membawanya ke mobilnya. Ia muak dengan mereka yang berkelahi layaknya anak kecil. Shania memberontak, “Apaan, sih?”

Hening. Yang Shania dengar hanyalah suara pendingin udara. Hans tidak berbicara sama sekali di perjalanannya, ia hanya menggertakan jarinya di setir. Shania hanya menatapnya aneh. Gadis itu hanya menatap jalan dengan tatapan kosong, melihat mobil berlalu lalang dan lampu lalu lintas yang menunjukkan bilangan-bilangan.

Hampa. Tak ada kehangatan di mobil tersebut, yang ia dengar selain pendingin udara adalah nafas berat milik Hans yang suaranya sangat mirip. Wangi kolonye yang pria itu pakai rasanya sangat segar dan natural. Rambut kecoklatan yang berbau shampoo laki-laki rasanya merupakan satu paket yang diantarkan oleh pria tampan.

Akhirnya sampai. Akhirnya Shania bisa bebas dari kesunyian tadi.

“Makasih, ya.”

"Denger dulu, Shan.” pinta lelaki tersebut seraya mengunci pintu mobilnya. Shania menghela nafas dan memutar bola matanya. Sial, jebakan. “Saya ga pernah bermaksud buat nyakitin hati kamu, kok, Shan. Saya cuma ga suka kalau Shania pulang malem. Gitu aja. Apalagi saya yang dikasih tanggungjawab sama orangtua kamu buat jagain anak mereka satu-satunya. Dan kamu itu sahabat saya, Shan. Saya enggak bakal rela kalau sahabat saya terjerumus ke jalan yang enggak bener. Jadi kamu maafin saya, enggak, Shan?”
Shania terdiam. Baru kali ini Hans meminta maaf kepadanya.

“Kenapa sih, Shan? Kamu mau saya jujur? Oke. Saya cemburu, Shan.” lanjutnya.
Shania kaget, cemburu? Ah, paling juga hanya akal bulusnya agar dikasihani.

“Kalau kamu bukan kelas dua SMA, pasti kamu udah jadi pacar saya sekarang, oh, iya, belum tentu kamu mau, ya, Shan? Alasan saya menjauhkan kamu dari teman cowok kamu itu karena saya gamau saya didahuluin orang lain.” Hans menghaluskan suaranya, ia menatap Shania dengan harapan agar wanita itu mau memaafkannya.

Cemburu didasari oleh apa? Cinta atau keegoisan?" akhirnya Shania membuka mulutnya. Kalimat-kalimat itu lebih tajam dari kalimat Hans beberapa hari yang lalu. Hans terbelalak kaget dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut sang gadis. “Tuhan menciptakan seorang Shania enam tahun setelah Ia menciptakan seorang Hans. Apakah Tuhan menciptakan kita untuk disatukan? Kalau iya, pasti kita akan dipertemukan kembali suatu saat nanti.”

“Iya, dimaafin. Makasih telah ngejelasin semuanya, Hans. Makasih juga udah nganterin,” lanjutnya.

1 comments:

Unknown said...

tua bgt hans nya wkwkw
lanjut naddd xD

Post a Comment