Musim Semi Yang Sudah Lama Berlalu
Bagian 5
Sudah seminggu, hari
ini hari Senin … bulan April tanggal 14, diselenggarakan
pesta penerimaan murid baru yang membuat suasana sekolah menjadi
ramai.
Hari itu juga, promosi
dari para klub ekstrakurikuler juga mulai dilaksanakan,
akhirnya ada suasana tahun baru yang seharusnya.
Kegiatan mengajar juga dimulai
hari Selasa.
Baru saja mulai, tiba-tiba sudah enam
mata pelajaran. Dengan tubuh yang belum terbiasaakibat liburan
musim semi, rasanya jadi sedikit berat.
Memasuki waktu sore,
konsentrasi siswa sudah mulai hilang dan memasuki mode tidur.
Sorata masih bangun
karena ia sedang memikirkan desain untuk shooting game-nya
nanti.
Karena bisa dibuat
sendiri, jadi Sorata memperkecil skalanya, dan target terkecilnya
yang penting bisa dimainkan. Kira-kira ada 3 jenis mode
permainan, yang pertama adalah mode utama, lalu mode versus,
dan yang ketiga mode puzzle yang berwarna.
Sepetinya akan lebih
menarik kalau membuat puzzle yang berwarna, tapi
saat baru mulailebih baik jangan terlalu serakah. Fokus dulu dengan yang
utama, kalau tidak nanti hasilnya tidak akan memuaskan.
Saat sedang berpikir, walaupun
sedang jam belajar, tiba-tiba pintu kelas terbuka.
Murid-murid yang
sedang dalam mode tidur pun terbangun.
Tatapan semuanya
tertuju pada orang yang membuka pintu.
“Oh, Shiina-san, ada
apa?”
Koharu-sensei
bertanya.
“Aku melupakan
sesuatu.’
Mashiro menjawab
dengan penuh wibawa.
“Begitu ya, barang apa
yang kamu lupakan?”
“Sorata.”
“Aku?”
Selanjutnya, pandangan
semua orang tertuju pada Sorata. Nanami menghela napas.
“Apa yang terjadi?”
“Barangmu yang hilang
itu Sorata, apa maksudnya?”
“Apa kalian tidak
merasa kalau mereka berdua aneh?”
Terdengar suara-suara
yang sedang membicarakan Mashiro dan Sorata.
Koharu-sensei dengan seenak
hati membalasnya,
“Kalau begitu,
ambillah.”
“Tidak, tidak, tidak,
mana boleh, Sensei?”
“Ah tidak apa,
lagipula Sorata juga tidak serius mengikuti pelajaranku.”
“Walau memang benar,
tapi tetap saja jangan dibolehkan!”
“Pokoknya kau maju saja ke
sini.”
Koharu-sensei menyuruh
Sorata maju ke depan, lalu ia langsung dibawa pergi oleh
Mashiro.
“Ah, sebentar,
Shiina! Aku belum selesai bicara …”
“Sudah selesai.”
“Kalau begitu, karena pengganggu
sudah pergi, mari kita lanjutkan pelajaran.”
“Padahal aku masih ada
di sini!”
Sorata yang teriak
dalam hati masih tetap tidak ditanggapi.
“Silahkan menikmati~~”
Sambil melihat dua orang
yang pergi bersama-sama itu, Koharu-sensei sempat melambaikan tangannya.
Setelah menutup pintu,
Sorata dan Mashiro berdiri sejenak di koridor.
“Itu, Sensei,
sudah tidak tahan lagi ….”
“Huh, huh, mereka
berdua berpacaran?”
Saat ini, terdengar
suara Koharu-sensei di kelas, sedang membicarakan hal yang tidak berkaitan
dengan pelajaran.
“Harusnya kau tetap
mengajar!”
Sorata yang berteriak
tetap tidak terdengar oleh mereka yang ada di dalam kelas.
Sorata di bawa ke
suatu tempat, yaitu ruang seni.
Setelah membuka pintu
masuk ke kelas, ia langsung ditatap oleh empat murid
yang ada di dalam, salah satunya Sorata kenal, yaitu Fukaya Shiho. Murid
yang tidak ada di sini, sepertinya sedang menggambar di tempat lain.
Baru saja ia
memikirkan hal itu, Shiho langsung mengayunkan tangannya yang memegang kuas dan
menggambar. Tapi cat airnya berserakan dimana-mana karena ia mengayunkannya
secara sembarangan.
“Huwaaa, kenapa bisa
begini!?”
Shiho panik.
“Apa yang dia lakukan, sih ….”
“Shiina, sekarang
jelaskan padaku, kenapa kau membawaku ke ruang seni?”
“Jurusan seni. Tugas. Menggambar
orang.”
“Kenapa kau menjawab
dengan terpotong-potong … huh? Menggambar orang?”
Kemungkinan yang bisa
dipikirkan dari kata-kata tadi hanya satu.
“Jangan-jangan kau mau
memintaku jadi model?”
“Ya, benar.”
“Serius?”
“Serius.”
“Aku tolak.”
“Aku tolak.”
“Apa kau sedang
menolakku!?”
“Ya.”
Mashiro memberi
tekanan dengan matanya yang polos itu.
Kalau begitu
habis sudah, Mashiro yang sudah membulatkan tekad, artinya tidak
ada tawar menawar lagi. Kalaupun kabur ke kelas, pasti dia akan mencari lagi.
Kalau begitu, terima
saja lah permintaannya itu, lalu menyelesaikannya dengan cepat. Kalau
Mashiro yang menggambar, mungkin akan lebih cepat.
“… Baiklah, aku
terima. Jadi, apa yang harus aku lakukan?”
“Lepaskan.”
“Maksudmu telanjang!?”
“Bukan.”
“Kalau begitu, buat
apa dilepaskan?”
“Homoeopati.”
“Homoeopati apa,
jangan menggunakan istilah yang aneh-aneh!”
“Pergi ke sana.”
Mashiro yang
menggambar di dekat jendela, menggunakan kuasnya untuk menunjuk
ke depan kelas.
“Kalau boleh, apa bisa di
tempat lain?”
Karena dari tadi terus
diserbu tatapan dari murid lain, makanya Sorata ingin ganti
tempat.Shiho sampai menyerah melukis lagi dan terus memandang Sorata.
“Kalau begitu, sana.”
Kali ini, Mashiro
menunjuk ke atas meja.
“… Kalau begitu, dengan
berat hati aku memilih kelas bagian tengah saja.”
Sorata dengan pasrah memilih
tempat yang ditunjuk Mashiro.
“Kalau begini boleh
tidak?”
“Boleh.”
“Perlukah aku
berpose?”
“Tidak perlu.”
“Sungguh sebuah kabar
baik.”
Mashiro menaruh
kanvasnya di bingkai.
“Kira-kira aku akan
berdiri berapa lama?”
“Kira-kira sebulan.”
“Lama sekali! Memangnya kau biasa melukis
selama itu?”
Paling lama pun pasti
cuma sekitar dua minggu.
“Kali ini aku akan
melukis dengan serius.”
Saat teman sekelas
Mashiro mendengarnya mengatakan hal itu, semuanya langsung terkejut.
Padahal lukisannya sudah sangat bagus, tapi ternyata selama ini dia belum
serius… mungkin itu yang dipikirkan oleh teman sekelas Mashiro sekarang.
“Dari dulu kau juga
serius kan? Jangan kompromi soal itu.”
Padahal sudah sangat
hebat, tapi masih minta bantuanku.
“Aku akan melukis
dengan sangat serius.”
“Jangan keras kepala
seperti anak SD!”
“Aku anak SMA”
“Jangan serius dengan
ucapanku yang tadi! Aku hanya bercanda! Dan ngomong-ngomong, aku bukan
peri, aku tidak bisa tidak bergerak selama sebulan, aku tidak percaya akan
terus berdiri, bagaimana ini?”
“Ah, begitu ya…”
“Kalau begitu, boleh
duduk.”
“Kalau begitu kenapa
tidak pakai foto saja?”
“Tidak boleh.”
Mashiro menjawab
dengan cepat.
“Memang sebuah kabar
buruk, sayang sekali ….”
“Sorata harus terlihat
hidup baru akan bagus gambarnya.”
“Apa tidak ada cara
lain ….”
“Apa harus Sorata yang
terlihat ‘segar’ baru bagus gambarnya?”
“Aku rasa itu lebih
buruk lagi!”
Walau tidak tahu apa yang
dipikirkan Shiho, tapi sepertinya setelah dengar kata ‘segar’ wajahnya memerah.
“Sepertinya memang
harus Sorata yang segar, baru akan terlihat lebih bagus.”
“Kau kira aku ikan
huh? Hoi!”
“….”
“Tolong jangan
diam lagi, cepatlah kosentrasi dan melukis … pandangan teman-temanmu
itu rasanya sakit, sampai-sampai sakit ke dalam hati, serius.”
Mashiro mengambil
arang dari kotak kayu, dan sepertinya dia sedang ‘merasakannya’.
“Ah sudahlah, tidak
apa-apa.”
“Hoi, hoi,
Kanda-kun.”
Shiho mendekatkan
tubuhnya ke Sorata yang sudah tidak bertenaga lagi, dan bertanya dengan suara
yang kecil.
“Ada apa?”
Sorata juga ikut
mengecilkan suaranya. Walaupun begitu, karena ruang kelas seni sangat tenang,
orang lain mungkin masih dapat mendengarnya. Sepertinya banyak
orang yangsedang menguping pembicaraan mereka.
“Apa kau berpacaran
dengan Shiina-san?”
“….”
Karena itu merupakan
pertanyaan yang sudah sering di tanyakan, Sorata dengan kecewa melihat Shiho.
“Ah, itu merupakan
pandangan mata yang sedang melihat orang bodoh.”
“Bukannya sebelumnya
aku sudah pernah menjawabnya?”
“Heh~~~tapi kan sudah
lama sejak waktu itu, siapa tahu ada kejadian yang menyebabkan kalian berdua
semakin dekat?”
“Tidak mungkin ada.”
“Belum mulai
berpacaran.”
Karena ia kira
Mashiro tidak mendengar pembicaraan mereka berdua, jadi Sorata keceplosan.
“Oh! Karena ‘belum’, jadi
maksudnya sebentar lagi akan mulai?”
Matanya Shiho mulai
berbinar-binar.
“Hei, Shiina, jangan ngomong
hal yang bisa buat orang lain salah paham.”
“….”
Sekali lagi, Mashiro
fokus ke kanvasnya, dan tidak mendengar Sorata berbicara.
“Kau pasti sengaja!”
Terima kasih karena
itu, sekarang Shiho dan empat murid lainnya memandang Sorata lagi,
seperti meminta penjelasan lebih lanjut. Sorata yang berada di situasi ini cuma
bisa menghela napas.
Tidak lama kemudian,
pintu kelas terbuka, Chihiro-sensei berjalan masuk.
Chihiro-sensei
sepertinya menyadari adanya kehadiran Sorata dan meliriknya.
“Apa yang kau
lakukan?”
“Sepertinya menjadi
model lukis.”
Sorata memindahkan
pandangannya ke Mashiro, seperti meminta Mashiro untuk menjelaskannya ke
Chihiro-sensei.
“Ah, begitu ya.”
Tapi, Chihiro seperti sudah tidak
tertarik lagi dan duduk di kursi dekat sudut kelas. Iamulai menguap dengan
mulutnya yang terbuka lebar itu.
“Chihiro-sensei, apa
Anda tidak lupa menanyakan hal seperti ‘apa kau tidak perlu
belajar’?”
“Pokoknya kau bolos
kelas kan? Cukup lihat juga sudah bisa tahu. Itulah
kenapa murid Sakurasou sangat membuat kami para guru pusing.”
“Harusnya aku yang
pusing karena dianggap seperti itu!”
Ia bolos bukan karena
ia ingin.
“… Apa ini
salahku?”
“Benar.”
“Shiina jangan malah terlihat
seperti mengakuinya! Ngomong-ngomong, aku sudah bolehkembali ke kelas
kan? Sekarang aku kembali ya? Bagaimanapun, tidak boleh
bolos pelajaran. Masalah model minta Chihiro-sensei saja.”
Setelah Sorata selesai
berbicara, Mashiro tampaknya tidak begitu senang.
“Sorata memperlakukanku
dengan kasar, tapi memperlakukan Nanami dengan lemah lembut.”
“Ka-kau ngomong
apa?”
Karena di depan
semuanya, detakan jantungnya jadi bertambah cepat lagi.
“Akhir-akhir ini,
bagian sini terasa aneh.”
Mashiro memegang
dadanya.
“Setiap melihat
Sorata, terasa aneh.”
Ia memandang Sorata
dengan tatapan penuh kebingungan.
“Tidak begitu
mengerti, terasa sesak.”
Walau ekspresi
Mashiro tidak membuatnya terlihat sedang menderita, tapi wajahnya
memerah, seperti sangat malu. Sorata juga berdebar-debar karna
berbagai alasan tadi. Walau sebelumnya sudah tahu, tapi Mashiro yang hari ini
membawa sedikit kehangatan, terlihat lucu.
“Jadi aku memutuskan
untuk melukis.”
“….”
Sorata tiba-tiba
teringat hal yang terjadi empat hari yang lalu …. Waktu
itu Mashiro bilang akan menyusun strategi. Walau terlihat sedang bercanda, tapi
sepertinya ia serius.Situasi saat ini, mungkin hasil pemikirannya selama empat hari.
Kalimat yang diucapkan
Mashiro selanjutnya, membuktikan bahwa kesimpulannya benar.
“Entah kenapa aku
rasanya mengerti perasaan yang sesak ini saat melukis Sorata.”
Walau Sorata sudah
menebak dengan sangat benar, tapi Sorata tidak merasa bangga sedikitpun. Sama
sekali tidak ada tenaga untuk bangga, dan wajahnya mulai memerah.
Sorata sudah mengerti
alasan sebenarnya mengapa Mashiro merasa sesak …. Mashiro
mencoba mencari jawabannya dengan melukis Sorata … dengan melukis
perasaannya, karena ia tidak pandai dengan kata-kata ataupun perbuatan.
“Sekarang yang aku
ingin lukis hanya Sorata seorang.”
Empat murid yang
termasuk Shiho didalamnya, semua sudah berhenti melukis, merekaseperti
ditahan oleh sesuatu dan berkonsetrasi ke pembicaraan antara
Sorata dengan Mashiro.
Tidak bisa lari ke
mana-mana, kalau Mashiro sudah sampai bicara begini, tidak bisa
ditolak lagi.
“Iya iya, aku akan jadi
model, akan kulakukan.”
Mashiro dengan caranya
sendiri terus melangkah maju, Sorata tentu tidak boleh menghalanginya.
Walau menurut Sorata , itu merupakan pengertian yang berbeda bagi dia ….
“Tapi, tidak boleh
saat jam pelajaran, tunggu saja jam istirahat.”
Mashiro menganggukkan kepala.
“Aku mengerti.”
“Terima kasih karena
sudah mengerti.”
“Dengan demikian, aku
dan Sorata sudah melewati garis itu.”
Mashiro dengan berani
mengatakannya, dan Shiho berteriak dengan senang, murid yang lain juga menutup
telinga, memutar badannya dan mengeluarkan suara yang aneh.
“Ka-kau ngomong apaan
di tempat umum begini! Bo-bodoh! Bu-bukan begitu! Yang dikatakannya tadi
bukan begitu! Kalau ada yang mendengar percakapan kami yangsebelumnya
pasti akan mengerti!”
Sorata dengan
mati-matian menjelaskannya, tetapi para murid jurusan seni langsungkembali
ke tugas mereka masing-masing sambil saling berbisik.
“Bagian ini harus bagaimana?”
“Ah pusing sekali, aku tidak tahu mau memberi warna apa.”
Sepertinya memang
lebih baik meninggalkan tempat ini dengan cepat.
“Baik, sekarang aku
kembali ke kelas dulu.”
Mashiro mengantar
Sorata keluar ke kelasnya.
Saat pulang
sekolah, karena kejadian di ruang kelas seni, Sorata dihadapkan dengansebuah
pilihan yang sulit. Kejadian ini terjadi setelah selesai piket, Mashiro dan
Nanami mencari Sorata di saat yang bersamaan.
“Sorata, datanglah ke
ruang kelas seni.”
“Kanda-kun, apa bisa menemaniku
latihan?”
“Hn.”
“Hn?”
Mashiro dan Nanami
saling memandang.
“….”
“….”
Di antara Mashiro dan
Nanami, seperti terlihat percikan api yang kecil, dan di saat yang
bersamaan, mereka memandang Sorata.
“Sorata, pilih mana?”
“Kanda-kun,
bagaimana?”
“Situasi apa ini ….
Se-sebentar, tenangkan dirimu dulu.”
“Aku selalu tenang
kok.”
“Ya.”
“Yang panik itu
Kanda-kun mungkin.”
“Benar.”
“Ah, Onii-chan~~”
Di situasi seperti ini,
terdengar suara orang bodoh. Ternyata Yuuko. Kalau biasanya Sorata pasti
berpikir bertambah lagi masalah … tapi saat ini Sorata
menganggapnyasebagai penyelamat. Sepertinya hanya keluarga yang mempunyai
hubungan darah yang bisa diandalkan saat ketemu jalan buntu.
“Yuuko, ada apa?”
“Hn, hn, walau sedikit
susah untuk mengatakannya ….”
“Ah, jangan
khawatirkan itu, bilang saja, kita kan kakak beradik yang mempunyai hubungan
darah.”
“Kalau begitu, aku
bilang sekarang ya …. Onii-chan, sekarang kencanlah dengan Yuuko!”
“Jangan membuat
situasi ini menjadi lebih kacau lagi!”
Pokoknya harus memberi
Yuuko pelajaran dulu supaya dia diam.
“Ah Onii-chan,
sakit tahu! Apa ini yang namanya kasih sayang!?”
“Sorata.”
“Kanda-kun.”
Mashiro dan Nanami
memaksa Sorata memilih.
“Ah, apa harus aku
yang pilih?”
Apa tidak bisa
berurutan?
Sesaat Sorata berpikir
begitu, handphonenya berbunyi.
----- Sorata,
program utamanya sudah selesai.
Email dari Ryuunosuke.
“Sorata.”
“Kanda-kun.”
“Onii-chan!”
----- Cepat ke sini!
Ternyata aku memang
populer ya!
Bulan April
tanggal 12
Hari ini, rekor
pertemuan di Sakurasou tertulis:
----- Aku kira hubungan kami akan terus begini. Tapi
ternyata tidak, malah terbalik, setiap orang sudah mulai berubah saat ini …. Sorata-sama
baru sedikit menyadarinya.
Tulis Maid-chan.
----- Akasaka~~!
Kenapa kau menambahkan fungsi yang aneh pada Maid-chan!
Balas Kanda Sorata.
----- Bisa
mendapat pujian darimu merupakan kehormatanku.
Balas Akasaka
Ryuunusuke
0 comments:
Post a Comment