Musim Semi Yang Sudah lama Berlalu
Bagian 4
Pesta penerimaan Iori
selesai sekitar pukul 11 malam. Seperti biasa, shabu-shabu yang dimasak
Misaki itu shabu-shabu kare, tapi karena Sorata dan yang lain baru selesai
makan malam, jadi hampir semuanya dihabiskan oleh Misaki. Walaupun awalnya Iori
gugup di Sakurasou, tapi lama kelamaan, dia pun mulai cocok dengan Sakurasou
dan terbiasa.
“Ah~~ Misaki-senpai,
itu dagingku! Daging!”
“Semua daging yang ada
di dunia ini, akan aku makan!”
Yah, situasi
seperti ini, sepertinya Sorata tidak perlalu khawatir.
“Bagaimanapun,
Iori-kun memang sejak awal harusnya masuk ke Sakurasou.”
Nanami pun mulai
berpikir begitu.
Sorata menyetujuinya
dari dalam hati.
Setelah pesta
penerimaan yang meriah selesai, Sorata dan Nanami mulai beres-beres.Setelah itu,
Sorata berjaga di depan pintu ruang ganti. Bercandaan Chihiro-sensei ternyata
menjadi kenyataan juga.
Misaki memaksa Nanami
ke ruang ganti, dan Mashiro juga berada di dalamnya. Tiga anak perempuan yang
sedang mandi bersama, terkadang terdengar suara mereka yang sedang
bersenang-senang dari dalam. Tidak, yang sangat senang itu Misaki, Nanami malah
terus menjerit.
“Hari ini Sakurasou
juga damai ya ….”
Sorata duduk di
koridor, memegang buku naskah yang diberikan Misaki tadi.
Kalau boleh, ia
ingin tukar peran ke orang lain. Tapi Nanami pernah bilang ‘lebih
baik daripada latihan sendiri’, jadi rasanya ingin membantunya sebisa
mungkin. Dan di hari saat Nanami bilang ‘aku akan terus
berusaha’, ia sudah janji akan berusaha bersama-sama. Sorata juga
merasa ingin menyemangatinya sebisa mungkin, berharap kerja kerasnya suatu
hari akan membuahkan keberhasilan.
Jadi, kalau sudah
memutuskan hal itu, ya lakukan saja lah. Dengan tidak merepotkan
Nanami, pokoknya berusaha sebaik mungkin!
Sorata memeriksa
naskahnya.
Saat itu, kucing yang
mirip dengan kucing Amerika yang bulu nya pendek, Asahi,mengeong dan mendekati
Sorata.
“Asahi, ada apa? Apa
kau ingin jadi partner latihanku?”
“Meow~~”
“Begitu ya. Kalau begitu,
mohon bantuannya ya.”
Sorata mengangkatnya dan
membuatnya duduk berhadapan.
“Baik, kalau begitu, mulai.
‘Kau tiba-tiba ingin memberitahuku sesuatu … apa itu?’”
“Meow~~”
Awalnya berjalan
lancar, walaupun tetap merasa malu, tapi ia sudah
tidak gugup lagi.
“‘Begitu, ya.’”
“Meow~~”
“‘Aku juga mempunyai
perasaan yang sama. Aku juga … selalu menyukaimu.’”
“Meong~~”
“Huh? Ternyata gampang
juga mengucapkannya.”
Tadi ia gugup
karena kata ’menyukaimu’ , sampai-sampai wajahnya memerah.
“‘Aku juga, mempunyai
perasaan yang sama. Aku juga … selalu menyukaimu.’”
Kali ini juga bisa ngomong
dengan lancar, tidak kaku juga.
“Oh, sekarang aku
sudah tidak takut dengan kelemahanku.”
Saat Sorata sedang merasa
puas, dari kamar mandi terdengar suara jeritan yang keras.
“Huwaaaaaa!”
Tidak salah lagi, itu
suara Nanami.
“Hei, hei,
Aoyama, ada apa?”
“Sorata, terjadi
masalah besar.”
Yang membalas itu
adalah Mashiro.
“Masalah apa?”
“Dada Nanami bertambah
besar lagi.”
“Huh?”
Jadi yang dimaksud
masalah besar adalah ini?
“Ja-jangan ngomong
sesuatu yang aneh!”
“Itu kenyataan, aku
mengeceknya sendiri dengan memegangnya.”
Suara jeritan tadi,
sepertinya karena Mashiro memegang dada Nanami.
“Hmm, tidak
buruk, Nanami-chan! Tapi aku tidak akan kalah denganmu!”
“Aku mana bisa menang
sama Misaki-senpai!”
Memang … level
Misaki agak beda dengan yang lain.
“Nanami curang.”
“Kan sudah aku
bilang, ngomong saja ke Misaki-senpai … itu, Mashiro kenapa
memegang dadaku lagi!”
“Karna rasanya enak.”
“…”
Sorata tidak tahan dan
menelan ludahnya sendiri. Apa benar-benar enak ya ….
“Kouhai-kun, apa
ingin memegang dada juga?!”
“Kalau begitu, aku
terima saja kebaikanmu, Misaki-senpai!”
“Ti-tidak boleh!”
Reaksi Nanami sampai
ingin menangis.
“Aku rasa kau sudah
tahu, tadi aku hanya bercanda!”
“Jangan hanya
mendengar suaranya lalu membayangkan yang tidak-tidak, ya!”
“Belum juga membayangkan yang tidak-tidak ….”
“Jadi selanjutnya
bakal membayangkan yang tidak-tidak?”
“Ti-tidak!”
Sorata berteriak dengan
keras, tapi setelah itu melanjutkan dengan suara kecil lagi.
“Mu-mungkin ….”
Sebenarnya ia sudah
mulai membayangkannya ….
“Ti-tidak perlu
berjaga lagi, Kanda-kun pergi saja!”
Kalau dilanjutkan
lagi, Nanami sepertinya bakal benar-benar menangis.
“Kenapa ikut-ikut terseret
ke dalam masalah ini … hufh~”
Sorata menghela napas
dan berdiri.
Dengan tidak sengaja
Sorata berjalan sampai ke kamar nomor 103, kamarnya Iori. Ternyata dia
tidak mengintip, apalagi tidak ada tanda-tanda dia keluar dari kamar, mungkin
sudah tidur.
Atau sedang merapikan
barang bawaannya? Di pesta penerimaan tadi, ada perusahaan pindah rumah yang
berlogo badak membawa banyak barang bawaan ke dalam.
“Cek sebentar, ah.”
Mungkin bisa
membantunya merapikan barang bawaannya, juga sekalian ngobrol dengan dia.
Bagaimanapun juga nanti mereka akan hidup bersama. Ia juga
penasaran kenapa dia tidak mau bermain piano lagi.
Sorata berdiri di
depan pintunya, dan mengetuk pintu kamarnya dua kali.
“….”
Tidak ada tanggpan.
“Woi~~”
“….”
Tetap tidak ada
tanggapan.
“Aku buka
pintunya ya~~?”
Setelah memberi salam, Sorata
langsung membuka pintu. Pintunya tidak dikunci dan terbuka dengan mudah.
Sorata melihat Iori.
Dia duduk di bagian
sudut di samping piano, sedang berlatih piano dengan serius.
Sorata masih ingat
orang yang tadi membawa sesuatu yang besar, ternyata piano.
Tapi yang paling
penting, tidak terdengar suara piano, soalnya ia hanya menekan dengan pelan.
Sorata membuka pintu
dengan lebar dan masuk ke kamar.
Iori sama sekali tidak
sadar ada Sorata, dia terus bermain. Di telinganya terpasang headphone yang
tertulis ‘HAUHAU’ , kabel headphonenya langsung terhubung dengan pianonya. Apa
ini yang namanya keyboard?
Sorata melihat wajah
Iori sebentar, ekspresinya sedikit terlihat sedih dan tidak rela,
seperti dia tidak begitu rela menyerah pada piano dan pindah ke divisi reguler.
Sorata melihatnya dengan segenap hati, dan tidak bisa mengalihkan pandangannya,
dan rasanya dia seperti Mashiro yang sedang serius dengan komiknya.
Kamar yang sepi. Dan
di saat yang sama, Sorata menyadari seperti ada yang memandangnya.
“Huwa!”
Karena terkejut Sorata
sampai mundur selangkah. Di depan matanya adalah seseorang yang
terkenal di sejarah, Sorata juga mengenalnya. Dia adalah Bach yang sering
terlihat di ruang musik.
“Dibandingkan dengan
barang bawaannya yang lain, kenapa dia menempel gambar Bachdulu?”
Penuh misteri.
“Huwo! Senpai, kalau
kau sedang di sini kasih tahu dong!”
“Ah, maaf karena
langsung masuk ke kamar. Tapi tadi aku sudah mengetuk pintu.”
“Ah, begitu ya?
Kalau begitu maaf.”
Iori sepertinya sudah
selesai bermain, dan dia melepaskan headphonenya. Terlihat tulisan‘HAUHAU’ di
headphone itu.
“Ah, ini ya? Ini dari Nee-san.
Padahal dia sangat suka, tapi dia bilang ‘bagaimanapun aku tidak membutuhkannya
lagi’….”
Mungkin karena julukan yang
diberikan Misaki, sekarang misteri nama HAUHAU sudah terpecahkan.
“Ngmong-ngomong,
kamarmu bagus juga.”
“Kok?”
“Beru pertama kali
aku melihat ada orang menempel poster Bach di kamar.”
“Dia itu Father
of Music, lho. Makanya aku tempel.”
Mata Iori berbinar,
Sorata merasa kalau Iori terobsesi dengan Bach.
“Ah, apa saat malam
tidak terasa menyeramkan?”
“Apa Kanda-senpai juga
ingin menempel satu di kamar? Nih, aku masih ada cadangan.”
Iori berusaha
mencari di barang bawaannya, dan akhirnya menemukan segulung poster.
“Ini, untuk Senpai.”
“Bisa tidak kau jangan
memberiku poster ini dengan tatapan yang polos itu?”
Memang hebat orang
yang di hari pertama sudah dimasukkan ke Sakurasou ini. Pantas,
di bagian ini terasa aneh.
Sorata mengalihkan
pandangannya ke arah piano.
“Bisa latihan dengan
keyboard?”
“Ah, ini ya?
Pakai pada saat malam hari sangat enak loh, suaranya tidak
bocor, tapi karena nadanya tidak begitu bagus jadinya kurang cocok untuk
dipakai latihan, tapi saat ingin berlatih tinggal menekan, jadi aku lumayan
suka. Dipakai untuk membuat lagu juga enak, kalau mau piano yang bagus juga
bisa bermain di sekolah.”
“Walaupun kau ini
bilang tidak ingin jurusan musik, tapi kau sendiri sangat menyukai musik.”
Padahal cuma sebuah
ucapan yang keceplosan, tetapi Iori kembali sedih, menurunkan kepalanya
sedikit, dan memandang ke bawah.
“Maaf, aku sudah
keceplosan tadi.”
“… Kanda-senpai.”
“Hn?”
“Kau bilang kau kenal
kakakku kan?”
“Huh? Hn, yah, walau
cuma pernah ketemu beberapa kali sih.”
Saat tadi pesta
penerimaan ada obrolan sedikit tentang kakak Iori.
“Menurut Senpai,
kakakku bagaimana?”
Iori bertanya dengan
serius.
“Bertanya bagaimana,
sih … hm … dia cantik.”
Karena Sorata tidak
tahu mau menjawab apa, jadinya menjawab seadanya.
“….”
Iori melebarkan
matanya, dan terdiam sejenak.
“Huh? Cuma begitu?
Kalau dari segi musik?”
“Oh, aku kira apa,
ternyata segi musik? Maaf, aku tidak pernah mendengarnya bermain piano.”
“Begitu, ya?”
“Hn, walau pernah
dengar dia membuatkan musik untuk anime Misaki-senpai, tapi apa itu yang
namanya Live Performance? Kalau itu aku tidak mendengarnya dengan
serius, jadi maaf ya.”
“Tidak apa apa, begitu
ya, karena Senpai tidak tahu, makanya ….”
“Hn?”
“Ti-tidak ada apa-apa!
Itu merupakan masalahku sendiri.”
“Karena kau bilang
begini, jadinya malah makin penasaran.”
“Benar, tidak ada
apa-apa, dan ngomong-ngomong, ada apa Senpai sampai datang ke
kamarku?”
“Awalnya sih mau
bantu merapikan barang bawaanmu … tapi, sepertinya sekarang tidak
perlu.”
Kalau sekarang
membongkar kardusnya, mungkin malah bakal jadi lebih kacau dan lebih
tidak rapi lagi, dan Iori sendiri juga sepertinya belum mau merapikan barang
bawaannya.
“juga, cuma ingin
menyapamu saja. Mulai hari ini mohon bantuannya, Himemiya.”
“Harusnya aku yang
harus mohon bantuan, hahaha.”
Tapi, akhirnya Sorata tetap
tidak terbiasa dengan panggilan ‘Himemiya’, rasanya seperti memanggil
marga kakaknya, Saori.
“Jadi, apa aku boleh
memanggilmu dengan panggilan ‘Iori’?”
“Huh?”
“Karena memanggilmu dengan
panggilan ‘Himemiya’ seperti kurang enak, rasanyaseperti
memanggil kakakmu.”
“Kalau begitu, apa aku
boleh memanggilmu dengan panggilan ‘Sorata-senpai’?”
“Hn, boleh.”
Suasana hati yang
senang tapi juga kacau. Di saat pertama kali bertemu, Sorata ingin Ioritidak
memanggilnya dengan ‘senpai’, tapi sekarang rasanya ia sudah
sedikit mengerti.Lagipula saat dia memanggil Jin dengan sebutan
senpai, rasanya aneh. Tapi lama-lama nanti pasti terbiasa, haha.
“Kalau begitu, selamat
malam. Besok masih sekolah, tidurlah lebih awal.”
“Siap!”
Iori menjawab dengan
semangat, lalu melihat Sorata sampai di ujung koridor.Selanjutnya, terdengar
suara yang sepertinya memanggil namanya lagi.
“Kanda-kun? Tidak ada
di sini?”
Yang memanggil itu adalah Nanami.
“Ada apa?”
Setelah Sorata
meninggalkan kamar Iori, ia langsung menuju ke kamar ganti. Di
dalam, Nanami hanya memakai handuk untuk menutupi tubuhnya. Melihat
Nanami yang baru selesai mandi, rambutnya yang masih basah, tubuhnya yang masih
sedikit berasap, terlihat sangat menggoda.
“Ka-karena Sorata
tidak menjawab, makanya aku memanggilmu.”
Ia tidak begitu
mengerti situasinya.
“Ya-yang menyuruhku
pergi kan Nanami ….”
“Ma-makanya aku tidak
bilang itu salah Kanda-kun.”
Suara Nanami terdengar
seperti sedang mengoceh dan sedikit marah.
Selanjutnya terdengar
suara Misaki yang sedang bernyanyi sampai menutupi suara
Nanami. Dari suaranya, sepertinya dia masih di kamar mandi. Apa yang
dilakukan Mashiro sekarang?
“Apa kau sudah latihan
dengan benar?”
Nanami bertanya.
“Aku sudah latihan.
Mungkin tidak ada masalah lagi.”
Karena tadi latihannya berjalan
dengan lancar.
“Kau terlihat percaya
diri sekali, ya.”
“Hn, jangan kira aku
masih seperti tadi, ya.”
“Aku tidak akan
berharap banyak.”
“Tunggu saja.”
“Kalau begitu,
tunjukkanlah hasilnya. Silahkan.”
Sorata menarik napas
sejenak, dan mulai mengatakan dialog yang sudah ia hafal tadi.
“‘Kau tiba-tiba ingin
memberitahuku sesuatu … a-a-a-a-apa itu?’”
Baru kalimat pertama, sudah
kacau.
“….”
“….”
Selesai.
“bu-bukan begitu!”
“Belum juga aku bilang
apa-apa.”
Suara Nanami terdengar
sudah tidak tahan lagi, juga terdengar dingin.
“Padahal tadi aku
latihan dengan Asahi lancar-lancar saja.”
“Oh—kalau begitu, kenapa
sekarang tidak bisa?”
Nanami bertanya dengan
tidak memberi belas kasihan.
“Ka-karena … mungkin karena lawan bicaranya
adalah Aoyama.’
“Oh ternyata salahku
ya, hmm~~”
“Bukan begitu
maksudku.”
“Kalau bukan, apa
maksudmu?”
“I-itu, maksudnya…..”
“Maksudnya?”
“Walau tahu cuma
sebuah latihan, tapi bagian ini asli terasa seperti Aoyama akan menyatakan
cinta padaku, makanya jadinya canggung begini!”
“Huhh! Ka-kau omong
apaan?”
“Aku bilang aku tahu
cuma sebuah latihan!”
“I-iya.”
“….”
“….”
Walau tidak mengeceknya
dengan cermin, tapi aku yakin saat ini pasti wajahku sedang memerah.
Mukaku terasa panas, telingaku terasa panas, leherku terasa panas … tiba
tiba keluar banyak keringat.
“I-itu, Kanda-kun.”
“A-apa?”
“Kau bilang merasa
malu, itu artinya kau tidak membenciku?”
“Huh?”
“Emm … maksudnya,
apa kau mengakuiku?”
Nanami menjawab dengan
suara yang kecil sekali.
“Oh, em … hn, hn.”
“….”
“….”
“….”
“A-ayo latihan sekali
lagi!”
Untuk menenangkan
situasi, Nanami berbicara dengan keras.
“Be-benar juga, ka-kalau
begitu, ayo mulai dari awal.”
Saat Sorata
mengatakannya, tiba tiba dia terpental karena Mashiro yang membuka
pintunya dengan keras.
“Hoi, Mashiro, tunggu sebentar! Aku
masih mengganti baju.”
Sorata dengan tidak
sengaja melihat ke dalam dan terlihat paha Nanami yang baru setengah
memakai celana panjang piyamanya. Sorata pun dengan cepat menutup
pintunya.
“Hoi Shiina! Kenapa
kau perlakukan aku seperti itu?!”
“Soalnya Sorata
terlihat senang.”
“Ka-Kanda-kun?”
“Bu-bukan! Aku bukan
tidak ingin senang, aku bukan tidak ingin melihat … aaah, apa
yang aku bicarakan dari tadi!”
Karena berlatih
naskah, suasana langsung menjadi aneh.
“Kanda-kun, jangan
mengatakan apapun lagi.”
“Maaf! Aku benar-benar
minta maaf!”
“A-aku tahu!”
“Walau Sorata berpikir
begitu, aku juga punya pikiranku sendiri ...”
“tunggu sebentar? Apa
yang kau maksud dengan berpikir begitu?”
“Berpikir begitu, ya … berpikir
begitu.”
“Jadi maksudnya
berpikir begitu?”
“Aku juga punya
pikiranku sendiri.”
“Huh? Tidak
memedulikan pertanyaanku dan berbicara terus?”
“….”
Mashiro dengan diam
menyatakan bahwa dia sedang tidak senang.
“Aku mengerti, aku
mengerti. Yang tentang ‘berpikir begitu’ lupakan saja.
Tapi kaubilang punya pikiran sendiri, apa yang kau ingin lakukan?”
“Memikirkan strategi.”
“Itu dipikirkan nanti saja.”
“Kanda-kun! Kau
membuatku susah mengganti baju karena berada di depan pintu, cepatlah kembali ke
kamarmu!”
“Ba-baik.”
“Sebelum itu Sorata,
keringkan rambutku dulu.”
Mashiro sepertinya
memang merasa tidak senang, dia mengeluarkan hair dryer.
“Apa itu sikap untuk
meminta tolong pada orang lain!?”
Saat ini, Misaki
tetap gembira dan bernyanyi.
Dan begitulah, malam
pertama saat naik ke kelas tiga, diam-diam berakhir.
Tapi, masalah belum
selesai.
Larut malam sekitar jam dua,
Sorata mendengar suara berteriak yang keras dan bangun dari tempat tidurnya.
“Uwaaaaaa!”
“Uwo! Apa yang
terjadi?!”
Sorata bangun dari
tempat tidurnya dan langsung menuju koridor, melihat Iori yang ketakutan.
“A-ada apa?”
“So-sorata senpai! Mu-muncul!
Di-dia muncul!”
“Apa kau sudah mengompol?”
“Aku berhasil
menahannya … ta-tapi, bukan begitu maksudku! Di-di-di sana! Kamar
itu!”
Iori menunjuk satu kamar
dengan jarinya yang bergetar.
“A-ada hantu wanita!
Dia dengan halus memasuki kamar itu, uwaaaa!”
“….”
“Se-serius! Aku
melihatnya dengan kedua mataku sendiri!”
Sepertinya memang
sangat takut. Iori terus memeluk pinggang Sorata.
“Jangan khawatir,
tenang saja.”
“Sorata-senpai!”
Iori lebih kuat
memeluk pinggang Sorata.
“Iori … yang
kau lihat itu bukanlah hantu. Dia tinggal di kamar nomor 102 … dia
juga sama sepertiku yang merupakan siswa kelas tiga, namanya Akasaka
Ryuunosuke.”
“Huh?”
“Dan ngomong-ngomong,
dia laki-laki.”
“Tapi dia itu cantiknya
luar biasa.”
“Hn, tapi itu kenyataannya.”
“Dunia ini memang
aneh!”
Walaupun dia seperti
memahami dengan cara yang aneh, tapi yang penting dia sudah tahu.
“Woi, kalian ribut
apa?”
Saat percakapan
selesai, Chihiro-sensei keluar dari kamarnya.
“Uwaaaaaaaaaaa! Hantu
yang tidak beralis!”
“Kanda, bosan hidup
ya?”
Begitulah, sekarang
sudah sangat malam.
Bulan April
tanggal 8.
Rekam pertemuan
yang tertulis seperti itu di Sakurasou.
… Siswa kelas satu jurusan
musik, Himemiya Iori, tinggal di kamar nomor 103.
… Ada penghuni baru,
hari berbahagia di Sakurasou di mulai lagi hari ini … Sorata sama
begitu ingin melihat –
Tulis Maid-chan.
----- Bisa tidak
jangan menambahkan yang aneh-aneh! Walau aslinya memang begitu sih, tapi
ini membuat orang merasa malu tahu!
Balas Sorata.
0 comments:
Post a Comment