Second Chance(s): 00 - The End of The Beginning

Sunday, May 8, 2016




"Mi, jalan-jalan yuk." ajak Edward dengan wajah yang sudah menjadi ciri khasnya—datar. Rambut hitamnya yang dijatuhi salju malam membuat mata Mia berbinar-binar.




Mia melebarkan matanya; pupilnya mengecil sebentar. "Beneran, Ed? Aku enggak nyangka seorang Edward bisa mengajak Mia pergi jalan-jalan! Ayo kalo gitu, Mang!"

Lelaki tersebut memutar bola matanya, "Berisik, ah! Ikut ya ikut aja."

Mia melangkah di sampingnya, tinggi mereka selisihnya cukup jauh; toh umur mereka berbeda tiga tahun. Rambut cokelat milik Mia pun ikut terhempas angin malam, Edward yang menyaksikannya pun menjadi bingung, bagaimana wanita secantik Mia bisa berjalan di sampingnya.

Lelaki di seberang jalan pun melirik wajah Mia yang berwarna putih pucat. Sewaktu kecil, Edward sempat memanggilnya 'Albino'. Dulu Mia sangatlah tomboy, bahkan mereka pernah tidur bersama. Edward merupakan anak yang tidak bisa bersosialiasi, temannya pun menerka ia sebagai seorang sosiopat. Rumor tersebut ditepis habis-habisan oleh Mia yang mengatakan kalau ia adalah orang yang berbeda dari yang mereka pikir.

Mungkin mereka kira Mia dan Edward merupakan sepasang adik dan kakak. Meskipun paras mereka tak begitu mirip, khayalan orang mesum pasti tidak masuk di akal.

Edward menggapai tangan Mia dan menggenggamnya, gadis tersebut justru memegangnya lebih erat dan mendekatkan pundaknya ke tangan Edward. Semburat merah sudah terlukis di pipi lelaki itu.

"Punya temen kayak Edward enak ternyata," celetuk Mia. Seketika Edward bingung kalau berpegangan tangan seperti ini masih ia bilang teman. Friendzone tuh gaenak.

Kaki Edward terhenti, "Mi.., masihkah kamu menganggap aku sebatas teman? Kukira mah lebih jauh..."

Gadis dara tersebut mengernyitkan alisnya dan memiringkan kepalanya, "Bukan temen kok, Ed. Sahabat!"

Edward kembali kecewa mendengarnya, "Maksud aku jadi pacar, Mi. Mau?"

Seketika Mia melepas tangan Edward dan menjauh satu langkah dari tubuh tinggi milik lelaki cuek di depannya.

Jantung Edward berdegup kencang, "Dia mau enggak, ya?" pikirnya.

"Ayuk ayuk aja, Ed." pupil Mia membesar, senyum yang biasanya lebar kali ini menjadi senyuman hangat menggoda.

Edward pun membalas senyumannya, dan memeluknya erat-erat. "Kalo kayak gini, gaada yang ngira kita adik kakak, 'kan, Mi?"

Mia tertawa dan mendongakkan kepalanya, "Enggak, Ed. Ngiranya malah jadi adik kakak tapi incest gitu!" candanya.

"Kalo kayak gini gimana, Mi?"

Mia, membuka matanya lebar-lebar. Dunia serasa milik mereka berdua, rasanya kaki mereka tidak menapak di tanah. Dinginnya musim salju membuat pelukan mereka semakin erat. Tubuh Mia rasanya terbang ke atmosfer dan langsung mendarat di surga.

Iya, ini first kiss mereka. Iya juga, first kiss, bibirnya nempel! Di kota New York dan saat musim salju.


*****

Sudah dua tahun lamanya semenjak mereka berpacaran. Semakin lama waktunya, semakin banyak masalahnya. Mia berpikir Edward terlalu cuek kepadanya. Tak seperti lelaki lain yang mencurahkan hati—bahkan merayu—gadisnya. Semakin hari ia semakin tidak tahan, menurutnya hubungan mereka tidak ada gunanya. Status berpacaran hanya untuk kiasan belaka.

Mia tumbuh menjadi wanita feminim dan lebih cantik dan menawan. Tubuhnya kalau dilihat-lihat seperti model. Sifatnya pun semakin menjadi pemalu. Temannya berkata kalau seorang Edward tidak berhak mendapatkan seorang Mia.

Mia menyesap kopi favoritnya, kesal melihat Edward yang terus membaca novel Game of Thrones yang tebal. Siapa yang tidak kesal? Dia yang mengajak, dia yang tidak bicara.

Gadis tersebut berdiri dari tempat duduknya, "A...aku pergi sebentar, ya."

Edward hanya membalasnya dengan anggukan pelan. Sumpah, sifatnya membuat Mia muak.

[[Mia's POV]]



(Dengerin aja, ngena kok liriknya. Itu lagu merupakan inspirasi gue nulis ini. Entah kenapa lagunya PAS sama cerita cinta gue sekarang. DIGANTUNGIN. Ngenes bet, 'kan?)



Ed, maaf. Sudah cukup hati ini kau permainkan. Kukira hubungan kita itu sangat istimewa bagimu. Namun kehadiranku hanya untuk keserakahanmu saja. Bukan masalah penampilan atau gengsi, Ed. Kamu sungguh keterlaluan. Dua tahun lebih kucoba bersabar menunggu kau berubah. Ternyata tidak. Benar kata temanmu, kau sosiopat. Kejam sekali kamu, Ed.

Hujan deras ini tidak kalah dinginnya dengan musim salju dua tahun lalu, di mana kau memelukku erat. Aku tidak habis pikir, Ed. Kupikir kau berbeda. Salah, tentu.

Kau jarang menanyakan keadaanku; selalu mengacuhkanku di kala kau membaca buku; tidak pernah mengobrol. Apa aku ini mainanmu, Ed?

Apa aku terlalu bodoh sehingga aku menerimamu dua tahun lalu?

"Kenapa, Mi? Kok hujan-hujanan? Kenapa ga minta aku nganter pulang?"

Aku berbalik. Suara polos dan wajah tidak berdosamu itu memuakkan, Ed.

"Ki..kita udahan aja ya, Ed? Maaf." tubuhku menggigil. Rambutku dan pakaianku basah kuyup, aku yang menangis pun takkan bisa dilihat ia.

Edward melangkah ke arahku, "Kok? Maaf aku bukan tipe cowok yang teman-temanmu dan kamu inginkan."

"Enggak, Ed. Aku sudah puas dijadikan mainanmu terus-terusan. Padahal kamu yang mau hubungan ini berjalan, tapi kenapa seolah aku yang hanya ada di sisimu, Ed? Sedangkan kamu entah di mana."

Edward mulai melukis perasaan bersalah di wajahnya, "Semua orang  punya cara mencintai yang berbeda, Mi. Tolong jangan putus, deh. Aku janji bakal berubah."

"Berubah? Aku sudah menunggu dua tahun, lho! Dua tahun lamanya aku menunggu kamu. Ingat saat aku menunggumu dua jam di kampus saat kamu bilang kamu mau jemput. Nyatanya kamu hanya tidur di rumah! Sudah deh, Ed. Aku sudah keluar dari rumahmu." aku mulai berteriak.

"Mi, aku minta maaf..."

"Why can't you hold me in the street? Why can't you kiss me on the dancefloor, I wish that it could be like that, why can't we be like that? 'Cause I'm yours." aku melantunkan lagu Little Mix, lagu itu terus kunyanyikan semenjak beredar. Awalnya lagu itu hanya untuk menenangkan pikiranku saja, sampai akhirnya diri ini menyadari kalau lirik lagu tersebut memang pas di hati. Hahahaha, jleb.

Edward berlari ke arahku, ia mencoba meyakinkanku dengan menciumku, lagi. "Taktik apapun yang kamu lakukan, enggak mempan, Ed."

"Please, give me another chance." ia menyentuh pipiku dan memberikanku payung kecil.

Keputusanku sudah bulat, "How many chances that I gave you, Ed? Change, and come back. That's only chance you have."

"Tapi please, jangan pergi." pintanya.

"Fine." teriakku.

To Be Continued.

2 comments:

Unknown said...

Mi.., masihkah kamu menganggap aku sebatas teman? Kukira mah lebih jauh.
bukan temen tp sahabat x_x
lanjut naaaddd (>,<)b

Unknown said...

nanad >///<
ill waiting for next part 'w')b

Post a Comment