Musim Semi Yang Sudah Lama Berlalu
Bagian 2
Sorata, Mashiro, dan
Nanami. Mereka bertiga berjalan bersama ke sekolah yang saat
inimerupakan tahun ketiga bagi mereka. Sorata di tengah, Mashiro di sebelah kanan,
dan Nanami di sebelah kiri.
Menggunakan seragam
seperti ini sambil berjalan ke sekolah, mengingatkan Soratabahwa sekolah sudah
benar-benar dimulai. Dan di saat yang sama, Sorata mulai rindupada
liburan musim semi yang baru saja selesai.
“Huffh.”
Sorata menghela napas.
“Hari pertama ke
sekolah, kenapa seperti itu? Jangan sampai lesu begitu.”
“Memang benar, sih.”
Sambil mengangkat
kepala dan melihat ke arah langit, langit yang biru dan
indah ituterasa kontras sekali dengan suasana hati Sorata.
“Apa karena Yuuko?”
“Yah, sebagian, tapi …
ah, sudahlah, sudah tidak apa-apa sekarang.”
Walau tidak terpikir
dia bakal berhasil saat ujian masuk, tetapi saat membawa Mashiro dan
Nanami pulang ke kampung waktu akhir tahun, ia sudah tahu
Yuuko kalau belajar dengan giat, karena tiap hari ia
berada di meja belajar. Juga walau keberuntungannya tinggi, harusnya ujian
masuk SMA Suimei bukan sesuatu yang bisa dilewati dengan keberuntungan
saja.
“Kalau tidak, kenapa
tadi kau menghela napas?”
“Cuma merasa kalau dari
awal sampai akhir aku tidak melakukan apa apa …. Dan liburan
musim semi sudah berakhir begitu saja.”
Awalnya, sebenarnya ia sudah
menyiapkan semangat untuk membuat game saat liburan musim semi. Tapi saat memasuki bulan April,
Sorata jatuh demam, dan terus merasakan pusing di kepalanya. Di saat
ia kira demamnya sudah sembuh, Mashiro yang menjaga Sorata saat demam malah
ikut jatuh demam juga. Kali itu giliran Sorata menjaga Mashiro, dan liburan
musim semi yang pendek berakhir begitu saja.
“Karena tidak enak
badan, itu juga wajar saja.”
“Sorata begitu lemah.”
“Bukannya kau juga
ikut jatuh demam saat itu!”
“Itu salah Sorata
karena sudah menulariku.”
“Maaf kalau begitu.”
“Siapa suruh kau
melakukan hal seperti itu.”
“jangan bicara sesuatu
yang akan membuat orang lain salah mengerti!”
“Kau melakukan apa?”
Nanami menyipitkan
matanya, melihat Sorata dengan penuh kecurigaan.
“A-aku tidak melakukan
apapun.”
“Dengar dengar, kalian
juga saling memeluk saat telanjang, ya.”
“Ma-makanya, aku ‘kan
sudah menjelaskan ? Lagipula waktu itu aku sudah memakai baju!”
“Hmm, begitu ya.”
Nanami bicara dengan
nada datar, tidak menerima alasan Sorata. Sepertinya lebih baik mengganti
topiknya.
“Oh iya, Aoyama,
bagaimana dengan keluargamu?”
Untuk meyakinkan orangtua—terutama ayahnya, Nanami kembali ke
kampunghalamannya saat liburan musim semi. Karena ini lah dia tidak begitu
tahu mengenai soal Sorata dan Mashiro saat jatuh demam dan hal-hal lain yang
terjadi antara Sorata dan Mashiro.
Di sisi lain, karena
terjadi banyal hal yang membuatnya sangat sibuk, jadi Sorata pun
belum sempat menanyai Nanami mengenai hubungannya dengan orangtuanya.
Tidak tahu apakah hubungannya sudah agak baik dengan orangtuanya—terutama
papanya.
“Yah, setidaknya mereka sudah
mengakuiku.”
“Setidaknya, ya ….”
“Karena rasanya Papa
belum begitu terima dengan keputusanku.”
Mungkin gara-gara
teringat ayahnya, Nanami tersenyum pahit.
“Tapi, kurasa dia
sudah tahu kalau aku serius. Mungkin karena aku tidak pulang ke
rumah selama 2 tahun.”
“Hmm, begitu.”
“Um, aku sih dengar
dari Mama. Kau tahu anime buatan Misaki-senpai yang di-uploadke
internet? Yang aku bantu jadi pengisi suaranya itu, lho.”
“Ya.”
“Sepertinya Papa
sudah lihat. Tapi walaupun aku bertanya kepadanya, dia tetap jawab
‘tak pernah lihat’, ‘tak tahu’, masih tidak mau mengakuinya.”
“Memang seorang ayah yang
keras kepala, ya.”
“Yah, mungkin?”
“Soalnya mirip dengan
Nanami.”
Mashiro yang ikut
ngobrol membalasnya.
“Benar juga. Kau
juga sampai pergi dari rumah karena tidak direstui.”
“… Mendengar kalian
mengatakan itu tidak membuatku merasa senang.”
Wajah Nanami mulai
menunjukkan bahwa dia sedang kesal.
“Tapi, yah, itu berarti
orangtuamu sudah mengakuimu.”
Ini merupakan kabar
baik.
“Hmm, aku kira
begitu. Tapi, kalau ada hal yang dapat dilakukan diri sendiri, tetap akanaku
lakukan sendiri. Aku akan terus bekerja sambilan dan tidak boleh banyak
merepotkan orangtuaku.”
Benar-benar sebuah
keputusan yang hebat. Bisa dengan sungguh-sungguh melakukan hal yang dia
inginkan itu sangat mengagumkan.
“Aku berencana untuk bekerja
sambil menabung tahun ini, siap-siap untuk tahun depan mengikuti
kelas latihan yang lain lagi.”
Nanami mengatakannya
dengan serius, seperti untuk menyemangati dirinya sendiri.
Dia sudah mulai
melangkah, menetapkan tujuannya, dan selangkah demi selangkah mengejar
tujuannya itu.
Tidak ada masalah
apapun, kecuali satu hal …
“….”
“….”
Suasana yang tegang
akhirnya datang lagi, dan Nanami sadar topik mulai menuju ke ‘sana’.
“Nanami, apa kau ingin
meninggalkan Sakurasou?”
Tanya Mashiro tanpa
ragu-ragu kepada Nanami.
Awalnya Nanami datang
ke Sakurasou, itu karena dia berhutang membayar biaya asrama reguler. Karena tahun
ini ia tidak perlu membayar biaya kelas latihan, juga kalau bisa
dapat bantuan dari ortu, mungkin ia bisa membayar biaya asrama reguler.
Nanami tidak memiliki
alasan untuk menetap di Sakurasou lagi.
“Aku sudah
memutuskannya.”
Wajah yang ceria, juga
suara yang penuh percaya diri.
“….”
Walaupun Sorata menunggu
sambil terdiam, Nanami tidak benar-benar mengatakanapakah dia akan ‘tetap
tinggal’ atau ‘meninggalkan’ Sakurasou.
Mashiro tidak bertanya
lebih lanjut, Sorata juga tidak ingin terus membicarakannya. Bagaimanapun, apapun
keputusannya, jika itu memang keputusan Nanami, Sorata akan menerima
keputusan itu. Dia percaya kalau Nanami akan memberitahu mereka tentang
keputusannya suatu saat nanti.
Saat sudah kehabisan
topik, Sorata dan yang lainnya sudah sampai di SMA Suimei. Bel
masuk belum berbunyi.
“Detak jantungku rasanyasemakin
cepat.”
Saat sudah masuk ke
dalam sekolah, Nanami menggumam sendiri.
“Nanami sedang sakit.”
“Tidak mungkin!”
Detak jantung Sorata
juga bertambah cepat, jadi dia memahami perasaan itu.
Maju sedikit
lagi, akan ada papan pengumuman yang menempelkan hasil pembagian
kelas.
Mereka akan segera
tahu siapa teman-teman yang akan menghabiskan tahun terakhir ini
bersama mereka.
Berharap bisa satu
kelas dengan orang yang sudah dikenal, dan bukan kelas berisi orang-orang
asing. Memikirkan hal itu saja rasanya sudah cukup mengerikan.
Pembagian kelas setiap
tahun selalu terasa tidak enak, itulah kenapa mereka merasa
gugup.
“Semoga kita bisa
terus sekelas.”
Sorata maju ke depan, dan
berbicara kepada Nanami.
“Huh?”
Seperti tidak
menduganya, Nanami menunjukkan muka terkejut.
“Apa Aoyama tidak
ingin sekelas denganku ….”
“Bu-bukan …. Itu karena
aku memikirkan hal yang sama dengan Sorata.”
Suara Nanami menjadi semakin kecil.
“Be-begitu, ya.”
“Hm, hm.”
Berbicara jujur itu
memalukan juga ternyata.
“Aku harap Akasaka
juga sekelas dengan kita.”
“Tapi kalau mau
seluruh anggota Sakurasou sekelas …. mungkin akan sulit.”
Benar. Tidak mungkin seorang guru
memasukkan semua murid bermasalah dalam satukelas. Setelah masalah yang
mereka buat saat acara perpisahan kelas tiga, seharusnya para guru jadi lebih waspada.
“Aku juga ingin
sekelas dengan Sorata.”
Yang bisa berbicara
pada saat saat begini dengan santai dan biasa saja mungkin hanya Mashiro
sendiri.
“… Tidak, kalau
Shiina tidak mungkin.”
“Kenapa?”
Mashiro terlihat bingung.
“Shiina itu jurusan
seni, dan aku jurusan reguler. OK?”
“Tidak.”
“Yah, tapi bagus
juga kalau benar-benar bisa sekelas.”
“Benar? Sorata juga
ingin sekelas denganku?”
“Hm, hm. Soalnya
bagaimanapun ini tahun terakhir kita SMA, tentu kalau kita bersama-sama akan
lebih menyenangkan.”
“Ya.”
Tapi, itu merupakan
keinginan yang tidak akan pernah terwujud. Sehabis mengatakannya
Sorata jadi sedikit menyesal, dalam hatinya juga terasa sedikit kesepian.
Di depan Sorata, papan
pengumuman yang berisi hasil pembagian kelas sudah semakin dekat.
“Hm~ aku
benar-benar gugup.”
Nanami sama sekali
tidak bisa tenang, seperti dirasuki sesuatu.
“Semakin ingin
bersama, rasanya malah semakin tidak mungkin … dunia ini
memang begitu.”
“Bicara seperti itu pada
saat begini, Kanda-kun memang tidak bisa melihat situasi, ya.”
Nanami mencoba menenangkan
diri untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Sorata berhenti
melangkah. Mading yang berisi hasil pembagian kelas sudah di depannya.
“Baik, kalau begitu,
saat hitungan tiga, ayo lihat bersama.”
“Hm, hm.”
“Satu, dua, tiga~”
Dengan teliti mereka melihat
hasil pembagian kelasnya.
Mulai dari kelas 3-1.
Debar jantung saat
belum menemukan namanya sendiri rasanya benar-benar tidak tertahankan. Tiap
tahun selalu terasa begitu.
Tapi, rasa sedih pada
tahun ini tidak terasa begitu lama.
Murid laki-laki kelas
3-1, nama pertama yang ia lihat adalah “Kanda Sorata”, dan dibagian
atas terlihat nama “Akasaka Ryuunosuke”.
Tangan Sorata menggenggam
mantap.
Seseorang di sampingnya menarik lengan
bajunya.
Yang berdiri di sampingnya
adalah Nanami, matanya terlihat seperti menangis.
“Aoyama di kelas
mana?”
“Sekelas! Kita
sekelas!”
Nanami langsung
mengeluarkan suara yang gembira sambil meloncat-loncat seperti anak kecil.
Sorata melihat bagian
murid perempuan kelas 3-1. Ternyata memang benar, bagian paling atas
tertulis “Aoyama Nanami”. Mereka benar-benar sekelas.
“Ternyata memang ada
hal seperti ini, ya.”
“Hmm … sepertinya
keberuntungan memang kadang terjadi.”
“Ya, sepertinya
begitu.”
Karena terjadi banyak
hal yang tidak di duga, jadi Sorata cuma mengangguk-anggukkankepala
saat Nanami berbicara. Walau cuma hal yang kecil, tapi tetap
terasamembahagiakan. Terpikir kalau rasanya ada arti yang sangat
besar bahwa di dunia ini masih ada harapan.
“Jangan-jangan memang
sengaja dibuat sekelas, ya.”
Kemungkinannya sangat
tinggi, karena rasanya terlalu beruntung juga bisa sekelas seperti
itu. Tapi apapun itu, sudah tidak penting lagi.
Bisa sekelas, itulah
yang penting.
Tapi, sesuatu pasti
ada sisi baik dan buruknya.
Melihat hasil
pembagian kelas, mereka melihat sesuatu yang menarik perhatian.
Wali kelas.
“Aku melihat nama
Koharu-sensei, apa tidak salah?”
“Aku pikir itu memang
kenyataan.”
“Tapi, membiarkan
orang itu menjadi wali kelas tiga, apa tidak akan ada masalah?”
“Aku rasa bakal
ada masalah.”
Bahkan Nanami
yang biasanya tidak membicarakan keburukan orang lain pun memberikan
pendapat yang sama.
Apa dia bisa
membimbing siswa dengan benar … rasanya tidak yakin.
“Shiina-sa~n”
Saat mereka bertiga
baru saja ingin meninggalkan papan pengumuman, terdengar suara yang
semangat dan ceria.
Fukaya Shiho yang
merupakan siswi jurusan seni berlari kecil ke arah mereka. Rambuttwintail-nya berayun-ayun
seperti telinga binatang.
“Syukurlah,
Shiina-san! Kita sekelas lagi!”
Saking senangnya Shiho sampai ia mengeluarkan
suara “hesho!!” sambil memeluk Shiina.
“Jurusan seni selama
tiga tahun pun pasti sekelas terus, kan.”
Karena jumlah muridnya
cuma 10.
“Huwa, Kanda-kun,
teganya! Kalimatmu tadi jelas-jelas merendahkan jurusan seni, tahu! Aku
memintamu meminta maaf dari lubuk hatimu yang terdalam!”
“Aku juga.”
“Huh? Shiina juga?”
“Aku mau baumkuchen.”
“Kau hanya lapar!”
“Hmm.”
“Oh, kau benar-benar merasa
tidak senang, ya.”
Walaupun susah menebak
emosinya, tapi Sorata yakin dia sedang marah, karena saat ini Sorata sudah
mulai bisa menebak emosi Shiina.
“Aku juga ingin
sekelas dengan Sorata.”
Mashiro sekarang
terlihat kesepian.
“Nanami curang.”
“A-aku?”
“Jadi, Kanda-kun,
minta maaf dengan sungguh-sungguh sekarang.”
“Maaf.”
Ia sudah tidak tahu ia meminta
maaf untuk apa lagi.
Mashiro dengan benci
melihat papan pengumuman yang berisi hasil pembagian kelas.
Dan saat ini bel masuk
sudah berbunyi.
“Kita harus cepat
masuk kelas.”
Mereka mulai berjalan masuk
ke kelas.
“aku ingin sekelas
dengan Sorata.”
Saat ini, Mashiro
mengatakannya dengan suara yang tidak jelas dan aneh.
***
Setelah menaruh
barang di kelas, semuanya langsung terburu-buru menuju ke stadium untuk upacara
pembukaan semester baru.
Mendengar kata
sambutan dari Kepala Sekolah, Sorata menguap sekitar tiga kali.
Sehabis selesai
upacara pembukaan semester baru, di meja sudah ada undian tempat duduk, dan
siswa mengambilnya untuk menentukan tempat duduknya.
Sorata duduk di
barisan dekat jendela urutan nomor dua. Tidak tahu karena beruntung
atau apa, tempat duduk Nanami berada di samping Sorata.
“Kenapa hanya hal
seperti ini yang berjalan lancar, ya.”
Nanami menghela napas
ketika melihat wajah Sorata.
“Apa aku melakukan
hal yang salah?”
“Mungkin ini memang berkah
dari Tuhan untukku.”
“… Kau bicara
apa sih?”
“Tapi Kanda-kun masih
seperti itu, mungkin bukan berkah Tuhan juga.”
“Bisakah setidaknya
aku diberitahu kenapa aku dikomentari seperti itu?”
“Tidak mau, ah.”
Ditolak dengan cantik.
Walaupun begitu,
Nanami tetap terlihat senang, dan sebelum wali kelas Koharu-sensei
masuk ke kelas, ia juga sempat mengobrol Takasaki Mayu dan Honjou
Yayoi yang sekelas lagi.
“Baik~ silahkan
kembali ke tempat duduk masing masing~”
Koharu-sensei yang
mengajar sastra Jepang mengatakan hal itu dengan nada santai
danmalas.
“Ah, masih ada
satu tempat duduk kosong, siapa yang belum mengambil undian?”
Siswa yang berada di kelas
sudah duduk semua, dan ada satu bangku kosong di belakang Sorata. Siapapun
pasti akan iri pada orang yang bisa duduk di tempat paling populer itu.Lucunya,
itu merupakan tempat duduk Akasaka yang sejak hari pertama sudah tidak masuk. Bisa
saja bangku itu kosong selama satu semester … sayang
sekali.
“Ah~ Akasaka-kun, ya? Tidak
dikira undian yang sisa itu merupakan tempat duduk yangpaling enak. Kalau
begitu, maaf sudah menunggu lama. Selanjutnya, seperti biasa, akuakan
membagikan lembar survei keinginan karir saat lulus pada
tahun ketiga ini.”
Kertas yang kecil dari
depan dioper sampai ke belakang.
“Minggu depan akan ada
wawancara perorangan berkaitan dengan survey itu, jadi jangan tulis
hal-hal konyol seperti “masa depanku terlalu cerah sampai aku tidak bisa
melihatnya dengan jelas”, mengerti?”
Orang yang akan
menulis seperti itu, sepertinya hanya alien saja.
Sorata mengeluarkan
pensil ketik dari tasnya dan tanpa ragu langsung mengisi survei keinginannya, “Universitas
Suimei Jurusan Seni, Departemen Media Art”.
Dibandingkan tahun
lalu, sekarang sudah berbeda.
Dulu karena tidak tahu
mau menulis apa di kertas kecil ini, jadi berpikir lama sekali. Tapi berkat hal itu, sekarang
ia sudah menemukan tujuannya.
Nanami yang
berada di sampingnya juga dengan cepat sudah selesai mengisinya, di
kertasnya tertulis “Jurusan Teater”.
“Kanda-kun.”
Sambil mengangkat
kepala, ia melihat Koharu-sensei berdiri di depannya.
“Ada apa?”
“Dimana Akasaka-kun?”
“Dia sudah masuk mode
anti-sosial. Kalau mau bertemu dengannya lagi, mungkin semester
depan.”
Laki-laki itu benar-benar
tidak hadir satu semester penuh tahun lalu.
“Kalau begitu, bisakah
Kanda-kun membantuku menanyakan pilihan karirnya?”
“Apa tidak ada pilihan
untuk Sensei mampir ke Sakurasou dan menanyakannya sendiri?”
“Aku berbeda dengan
Chihiro, bukan guru yang “berdarah panas” seperti dia, dan aku juga sibuk.”
“Sibuk mencari jodoh?”
“Nah, itu kau
mengerti.”
Koharu-sensei sama
sekali tidak merasa malu.
“Semoga sifat
Koharu-sensei yang yang tidak tahu malu ini bisa menular sedikit ke
aku.”
“Tanyalah Chihiro
kalau begitu. Nih, ambillah, lembar survey karir Akasaka-kun.”
Setelah itu
Koharu-sensei langsung kembali ke meja guru.
“Yah sudahlah, tidak
masalah juga.”
Walaupun merasa
Koharu sebagai guru yang agak aneh, tapi Sorata juga ingin sekalianbertanya
ke Akasaka mengenai beberapa hal.
Dia mengeluarkan handphonenya
dan mengirim email.
----- Akasaka,
apa kau di sana~
----- Ada apa?
Balas Akasaka lewat
email.
----- Pokoknya,
tahun ini kita sekelas lagi. Aoyama juga.
----- Memang sebuah
email yang tidak penting, ya.
----- Aku tahu kau
akan berkata begitu. Ngomong-ngomong, survei keinginan karirmu
saat lulus mau diapakan? Wali kelas kita Koharu-sensei memintamu
mengumpulkannya.
----- Tulis saja Jurusan Perancang Program,
lalu kumpulkan.
Gurunya seperti
itu, muridnya juga sama saja. Memang cocok, ya.
----- Menghubungiku
hanya untuk hal itu?
----- Tidak, aku juga ingin
bertanya beberapa hal.
----- Apa? Bilang
saja.
----- Aku berharap kau mau mengajariku
tentang merancang program. Aku tidak begitumengerti buku tentang
komputer yang kau berikan itu, di buku itu tidak ada sama sekali kata
tentang “game”!
Pemrograman komputer,
program membaca karakter C … semacam itu yang membuat orang bertanya-tanya
“bagaimana mungkin hal seperti ini menarik?”
----- Oh, kau baru
sadar sekarang.
----- Jadi selama
ini kau menipuku!
----- Ini berarti
Kanda sudah mengerti sedikit tentang pemrograman.
----- Apa aku sedang dipuji?
----- Aku tidak
memujimu.
----- Sudah
kuduga!
----- Apa kau sudah
menyerah membuat proposal untuk “Let’s Make a Game!”?
----- Aku akan
terus melanjutkannya, kalau ada saran yang bagus aku akan ikuti. Akuakan
lebih belajar prosesnya dan tidak terlalu terpaku pada hasil.
----- Aku mengerti.
Sekarang, kau ingin platform apa?
----- Aku ingin
menggunakan Creator’s Family, bagaimana menurutmu?
Kalau ingin membuat sesuatu, lebih
baik bukan mobile game ataupun game PC, tapi game konsol,
dan juga harus menyesuaikan pada konsol zaman sekarang.
Creator’s Family
adalah aplikasi untuk membuat game yang disediakan secara gratis, sangat cocok
untuk Sorata. Apalagi, aplikasi itu memiliki tempat para pembuat game
mengunggah rancangannya untuk diuji oleh orang lain.
----- Mau membuat
game tipe apa?
Ia sudah memikirkan
ini sebelumnya.
----- Game tipe shooting.
----- Jadi itu, setidaknya kau
memang sudah membaca buku yang sudah aku berikan.
----- Yah, kalau
tidak mempersiapkan diri dengan mempelajari dasar-dasarnya, akan susah
untuk bicara denganmu.
Dari sekian buku
Akasaka, ada satu buku yang menyinggung tentang pembuatan game.
----- Mengendalikan
objek yang kompleks, menggerakkan karakter dan menembak menggunakan UI (User
Interface), metode tentang terkena atau tidaknya peluru, pola pikir musuh
CPU … itu adalah tipe game yang menggunakan banyak teknik dasar pemrograman
game. Ditambah lagi, walaupun skala kecil, tapi sesuatu yang layak dimainkan
masih bisa dibuat. Sebagai game yang dibuat untuk tujuan belajar, itu
sangat cocok.
----- Dan terus
terang, apa diriku yang sekarang dapat membuatnya?
----- Kau sudah
mengerti penggunaan [if] dan [for] ‘kan?
----- Hmm.
Itu merupakan syarat
utama.
----- Cukup dengan memahami
hal itu, kau sudah bisa membuat sebuah game.
----- Apa benar
begitu?!
----- Tunggulah tiga hari.
Aku akan menyiapkan program utama yang bahkan Kanda bisa menggunakannya dengan mudah untuk
membuat game.
----- Apa kau
berencana untuk membuat sesuatu yang sangat hebat?
----- Cuma
program yang kosong. Tapi aku akan mengatur fungsi untuk objek
gambar, pengontrol, BGM , SE, dan lain-lain. Aku akan
membuat mereka berfungsi dengan mudah.
Sorata masih tidak
terlalu mengerti apa yang dia katakan.
----- Intinya?
----- Intinya yaitu
Kanda bodoh karena belum mengerti apa yang aku katakan.
----- Aku tidak
mau mendengar inti seperti itu!
----- Program yang
hanya menggunakan loop utama, menggunakan perintah sederhana
untuk menampilkan gambar dan memainkan musik.
----- Aku rasa
aku mengerti dan tidak mengerti di saat yang sama.
----- Kalau
begitu tunggu saja sambil memikirkan desain game yang akan kau buat nanti.
----- Ok. Apakah tidak
apa-apa Akasaka membantu sampai sejauh ini? Sepertinya
bakal melompati banyak langkah.
Dan ia juga
merasa kalau terlalu banyak dibantu Akasaka, maka tidak bisa
disebut membuat game sendiri.
----- Kanda tidak
ingin menjadi programer kan?
----- Yah, begitulah.
----- Maka tidak
masalah. Untuk pengetahuan dasar seperti mesin game atau penggunaan
aplikasi, mengerti programnya saja sudah cukup, sisanya akan aku serahkan
pada Maid-chan.
----- H-halo, Akasaka!
Sorata dengan cepat
mengirim email, dan tak sampai satu detik sudah muncul balasan.
----- Ciao, Maid-chan di sini!
----- Seenaknya
sekali!
----- Kalau
begitu, biar saja saya yang jelaskan pada Kanda-sama bagaimana situasi di
industri game akhir-akhir ini.
----- Kenapa
tiba-tiba jadi serius!
----- Apakah
Sorata-sama tahu apa itu mesin game?
----- Mesin sebuah
game.
----- Benar! Seperti
itu! Sorata-sama pintar sekali! Tidak, apa kau mau saya pukul?!
Bisa mengejek bahkan
di saat seperti ini, Maid-chan memang menakutkan. Kinerjanya
benar-benar tingkat tinggi.
----- Jika memakai
kata-kata yang bahkan dapat dimengerti oleh Sorata-sama, bayangkan
Tkool4 yang
digunakan oleh banyak industri.
----- Hmm, kalau begitu
sudah bisa dibayangkan.
----- Pembuatan
game yang dulu adalah dengan meminta programmer menulis kode program untuk
mengurus berbagai hal. Tapi akhir-akhir ini mesin game yang baru diciptakan untuk bisa
menangani semuanya, tentu sebuah kinerja kerja yang luar biasa.Terutama untuk
industri game luar negeri, ini merupakan cara kerja yang paling bagus.Jadi,
pekerjaan programmer seperti Ryuunosuke-sama tidak hanya mengikuti langkah buku
rancangan seperti “menaruh di sini” atau “bergerak seperti ini”, tapi perkejaan
utama seperti mencampur proses perhitungan fisik operasi kontrol pada mesin
game dan juga perbaikannya. Lalu, dengan menggunakan mesin game yang
“mengonfigurasi musuh”, cara berpikirnya, juga kemampuannya. Dengan kata lain,
orang yang membuat dan mengatur ‘panggung’ adalah seorang “Level Designer”.
Keuntungan dari cara kerja seperti ini, selain bisa meningkatkan kinerja kerja
yang luar biasa, orang yang menulis desain juga bisa dengan lebih mudah membuat
gamenya. Semisal jika memperhatikan cara berpikir perancang dan programmer,
tidak peduli dokumen proposalnya seperti apa, atau menjelaskan sedetil apa,
pasti akan ada sesuatu yang tidak tersampaikan. Situasi yang paling buruk itu
adalah ketika si perancang dan insinyur bertengkar seperti “kenapa kau tidak
mengerti sih?” atau “kalau begitu coba buat saja sendiri!”.
Benar, memang besar
kemungkinan hal seperti itu akan terjadi. Kesulitan saat membuatnya, kecemasan
saat presentasi, Sorata sudah merasakannya saat mengumpulkan hasil rancangan “Let’s
Make a Game!”.
----- Jadi, berdasarkan percakapan
yang tadi, aku sudah bisa menjadi seorang Level Designer?
----- Ya, benar. Kalau
ingin mengerjakan semuanya hanya sendiri, tidak ada cara lain selain harus
sehebat Ryuunosuke-sama. Kalau tidak, tidak mungkin bisa mengerjakan sendiri,
kau tahu? Intinya, itu hal yang tidak mungkin untuk Sorata-sama!
Percakapan dipotong
dengan paksa. Memang, kalau ingin sehebat Ryuunosuke, jiwanya mungkin
sudah mati menderita. Dari percakapannya dengan Ryuunosuke sampai
sekarang, tentu saja yang bisa membuat AI hebat seperti Maid-chan bukanlah
manusia biasa.
----- Terima
kasih Maid-chan, aku akan menunggu Akasaka tiga hari lagi sambil
memikirkan desain gamenya.
----- Sorata-sama yang
bersikap patuh seperti ini boleh juga.
----- Mendengar
itu tidak membuatku senang sedikit pun!
Walaupun membalas
email berkali-kali, maidd chan tetap tidak membalas.
“Tidak disangka aku
dipermainkan oleh sebuah AI …”
Pokoknya, yang bisa
dikerjakan, dikerjakan saja dulu. Sorata menulis survei keinginankarir milik Ryuunosuke
dengan “Jurusan Perancang Program”.
“hei, Kanda-kun.”
Nanami yang berada di
samping Sorata memanggilnya.
“Kau belum bertanya universitas keinginan
Mashiro setelah dia lulus?”
“Huh? Ah, iya, aku
belum bertanya.”
Kalau Mashiro yang
jenius dalam dunia seni, tidak peduli berapapun nilainya, dia mungkin bisa
masuk ke Universitas Suimei dengan mudah.
Juga, karena
ulangan tengah semester dan akhir semesternya mendapat nilai nol,mungkin dia akan masuk
ke Universitas Suimei dengan mengandalkan bakat lukisnya itu….
Bakat lukisnya Mashiro
memang sangat hebat. Universitas pun pasti berharap Mashiro untuk
mendaftar ke sana.
Tapi, melihat Mashiro
yang menghabiskan waktu setahun ini untuk membuat komik,
Sorata tidak yakin Mashiro akan memilih untuk masuk ke universitas. Pasti
dia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk komik.
Sekali lagi Sorata
mengeluarkan handphonenya dan mengirim email ke Mashiro.
----- Bagaimana
dengan pilihan universtasmu?
Tapi, sebelum
mengirim email itu, Sorata berpikir lagi, dan akhirnya ia
menghapusnya.
Ia melakukan itu karena ia menunggu
kesempatan berikutnya untuk bertanya kepada Mashiro.
Baru saja ia berpikir
begitu, bel berbunyi menandakan berakhirnya jam wali kelas.
“Baiklah~, kalau
begitu hari ini sampai sini saja~”
0 comments:
Post a Comment