Sakurasou no Pet na Kanojo [bab 1] bagian 2

Tuesday, April 12, 2016

Bab 1
Musim Semi Yang Sudah Lama Berlalu
Bagian 2

Sorata, Mashiro, dan Nanami. Mereka bertiga berjalan bersama ke sekolah yang saat inimerupakan tahun ketiga bagi mereka. Sorata di tengah, Mashiro di sebelah kanan, dan Nanami di sebelah kiri.




Menggunakan seragam seperti ini sambil berjalan ke sekolah, mengingatkan Soratabahwa sekolah sudah benar-benar dimulai. Dan di saat yang sama, Sorata mulai rindupada liburan musim semi yang baru saja selesai.
“Huffh.”
Sorata menghela napas.
“Hari pertama ke sekolah, kenapa seperti itu? Jangan sampai lesu begitu.”
“Memang benar, sih.”
Sambil mengangkat kepala dan melihat ke arah langit, langit yang biru dan indah ituterasa kontras sekali dengan suasana hati Sorata.
“Apa karena Yuuko?”
“Yah, sebagian, tapi … ah, sudahlah, sudah tidak apa-apa sekarang.”
Walau tidak terpikir dia bakal berhasil saat ujian masuk, tetapi saat membawa Mashiro dan Nanami pulang ke kampung waktu akhir tahun, ia sudah tahu Yuuko kalau belajar dengan giat, karena tiap hari ia berada di meja belajar. Juga walau keberuntungannya tinggi, harusnya ujian masuk SMA Suimei bukan sesuatu yang bisa dilewati dengan keberuntungan saja.
“Kalau tidak, kenapa tadi kau menghela napas?”
“Cuma merasa kalau dari awal sampai akhir aku tidak melakukan apa apa …. Dan liburan musim semi sudah berakhir begitu saja.”
Awalnya, sebenarnya ia sudah menyiapkan semangat untuk membuat game saat liburan musim semi. Tapi saat memasuki bulan April, Sorata jatuh demam, dan terus merasakan pusing di kepalanya. Di saat ia kira demamnya sudah sembuh, Mashiro yang menjaga Sorata saat demam malah ikut jatuh demam juga. Kali itu giliran Sorata menjaga Mashiro, dan liburan musim semi yang pendek berakhir begitu saja.
“Karena tidak enak badan, itu juga wajar saja.”
“Sorata begitu lemah.”
“Bukannya kau juga ikut jatuh demam saat itu!”
“Itu salah Sorata karena sudah menulariku.”
“Maaf kalau begitu.”
“Siapa suruh kau melakukan hal seperti itu.”
“jangan bicara sesuatu yang akan membuat orang lain salah mengerti!”
“Kau melakukan apa?”
Nanami menyipitkan matanya, melihat Sorata dengan penuh kecurigaan.
“A-aku tidak melakukan apapun.”
“Dengar dengar, kalian juga saling memeluk saat telanjang, ya.”
“Ma-makanya, aku ‘kan sudah menjelaskan ? Lagipula waktu itu aku sudah memakai baju!”
“Hmm, begitu ya.”
Nanami bicara dengan nada datar, tidak menerima alasan Sorata. Sepertinya lebih baik mengganti topiknya.
“Oh iya, Aoyama, bagaimana dengan keluargamu?”
Untuk meyakinkan orangtua—terutama ayahnya, Nanami kembali ke kampunghalamannya saat liburan musim semi. Karena ini lah dia tidak begitu tahu mengenai soal Sorata dan Mashiro saat jatuh demam dan hal-hal lain yang terjadi antara Sorata dan Mashiro.
Di sisi lain, karena terjadi banyal hal yang membuatnya sangat sibuk, jadi Sorata pun belum sempat menanyai Nanami mengenai hubungannya dengan orangtuanya. Tidak tahu apakah hubungannya sudah agak baik dengan orangtuanya—terutama papanya.
“Yah, setidaknya mereka sudah mengakuiku.”
“Setidaknya, ya ….”
“Karena rasanya Papa belum begitu terima dengan keputusanku.”
Mungkin gara-gara teringat ayahnya, Nanami tersenyum pahit.
“Tapi, kurasa dia sudah tahu kalau aku serius. Mungkin karena aku tidak pulang ke rumah selama 2 tahun.”
“Hmm, begitu.”
“Um, aku sih dengar dari Mama. Kau tahu anime buatan Misaki-senpai yang di-uploadke internet? Yang aku bantu jadi pengisi suaranya itu, lho.”
“Ya.”
“Sepertinya Papa sudah lihat. Tapi walaupun aku bertanya kepadanya, dia tetap jawab ‘tak pernah lihat’, ‘tak tahu’, masih tidak mau mengakuinya.”
“Memang seorang ayah yang keras kepala, ya.”
“Yah, mungkin?”
“Soalnya mirip dengan Nanami.”
Mashiro yang ikut ngobrol membalasnya.
“Benar juga. Kau juga sampai pergi dari rumah karena tidak direstui.”
“… Mendengar kalian mengatakan itu tidak membuatku merasa senang.”
Wajah Nanami mulai menunjukkan bahwa dia sedang kesal.
“Tapi, yah, itu berarti orangtuamu sudah mengakuimu.”
Ini merupakan kabar baik.
“Hmm, aku kira begitu. Tapi, kalau ada hal yang dapat dilakukan diri sendiri, tetap akanaku lakukan sendiri. Aku akan terus bekerja sambilan dan tidak boleh banyak merepotkan orangtuaku.”
Benar-benar sebuah keputusan yang hebat. Bisa dengan sungguh-sungguh melakukan hal yang dia inginkan itu sangat mengagumkan.
“Aku berencana untuk bekerja sambil menabung tahun ini, siap-siap untuk tahun depan mengikuti kelas latihan yang lain lagi.”
Nanami mengatakannya dengan serius, seperti untuk menyemangati dirinya sendiri.
Dia sudah mulai melangkah, menetapkan tujuannya, dan selangkah demi selangkah mengejar tujuannya itu.
Tidak ada masalah apapun, kecuali satu hal …
“….”
“….”
Suasana yang tegang akhirnya datang lagi, dan Nanami sadar topik mulai menuju ke ‘sana’.
“Nanami, apa kau ingin meninggalkan Sakurasou?”
Tanya Mashiro tanpa ragu-ragu kepada Nanami.
Awalnya Nanami datang ke Sakurasou, itu karena dia berhutang membayar biaya asrama reguler. Karena tahun ini ia tidak perlu membayar biaya kelas latihan, juga kalau bisa dapat bantuan dari ortu, mungkin ia bisa membayar biaya asrama reguler.
Nanami tidak memiliki alasan untuk menetap di Sakurasou lagi.
“Aku sudah memutuskannya.”
Wajah yang ceria, juga suara yang penuh percaya diri.
“….”
Walaupun Sorata menunggu sambil terdiam, Nanami tidak benar-benar mengatakanapakah dia akan ‘tetap tinggal’ atau ‘meninggalkan’ Sakurasou.
Mashiro tidak bertanya lebih lanjut, Sorata juga tidak ingin terus membicarakannya. Bagaimanapun, apapun keputusannya, jika itu memang keputusan Nanami, Sorata akan menerima keputusan itu. Dia percaya kalau Nanami akan memberitahu mereka tentang keputusannya suatu saat nanti.
Saat sudah kehabisan topik, Sorata dan yang lainnya sudah sampai di SMA Suimei. Bel masuk belum berbunyi.
“Detak jantungku rasanyasemakin cepat.”
Saat sudah masuk ke dalam sekolah, Nanami menggumam sendiri.
“Nanami sedang sakit.”
“Tidak mungkin!”
Detak jantung Sorata juga bertambah cepat, jadi dia memahami perasaan itu.
Maju sedikit lagi, akan ada papan pengumuman yang menempelkan hasil pembagian kelas.
Mereka akan segera tahu siapa teman-teman yang akan menghabiskan tahun terakhir ini bersama mereka.
Berharap bisa satu kelas dengan orang yang sudah dikenal, dan bukan kelas berisi orang-orang asing. Memikirkan hal itu saja rasanya sudah cukup mengerikan.
Pembagian kelas setiap tahun selalu terasa tidak enak, itulah kenapa mereka merasa gugup.
“Semoga kita bisa terus sekelas.”
Sorata maju ke depan, dan berbicara kepada Nanami.
“Huh?”
Seperti tidak menduganya, Nanami menunjukkan muka terkejut.
“Apa Aoyama tidak ingin sekelas denganku ….”
“Bu-bukan …. Itu karena aku memikirkan hal yang sama dengan Sorata.”
Suara Nanami menjadi semakin kecil.
“Be-begitu, ya.”
“Hm, hm.”
Berbicara jujur itu memalukan juga ternyata.
“Aku harap Akasaka juga sekelas dengan kita.”
“Tapi kalau mau seluruh anggota Sakurasou sekelas …. mungkin akan sulit.”
Benar. Tidak mungkin seorang guru memasukkan semua murid bermasalah dalam satukelas. Setelah masalah yang mereka buat saat acara perpisahan kelas tiga, seharusnya para guru jadi lebih waspada.
“Aku juga ingin sekelas dengan Sorata.”
Yang bisa berbicara pada saat saat begini dengan santai dan biasa saja mungkin hanya Mashiro sendiri.
“… Tidak, kalau Shiina tidak mungkin.”
“Kenapa?”
Mashiro terlihat bingung.
“Shiina itu jurusan seni, dan aku jurusan reguler. OK?”
“Tidak.”
“Yah, tapi bagus juga kalau benar-benar bisa sekelas.”
“Benar? Sorata juga ingin sekelas denganku?”
“Hm, hm. Soalnya bagaimanapun ini tahun terakhir kita SMA, tentu kalau kita bersama-sama akan lebih menyenangkan.”
“Ya.”
Tapi, itu merupakan keinginan yang tidak akan pernah terwujud. Sehabis mengatakannya Sorata jadi sedikit menyesal, dalam hatinya juga terasa sedikit kesepian.
Di depan Sorata,  papan pengumuman yang berisi hasil pembagian kelas sudah semakin dekat.
“Hm~ aku benar-benar gugup.”
Nanami sama sekali tidak bisa tenang, seperti dirasuki sesuatu.
“Semakin ingin bersama, rasanya malah semakin tidak mungkin … dunia ini memang begitu.”
“Bicara seperti itu pada saat begini, Kanda-kun memang tidak bisa melihat situasi, ya.”
Nanami mencoba menenangkan diri untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Sorata berhenti melangkah. Mading yang berisi hasil pembagian kelas sudah di depannya.
“Baik, kalau begitu, saat hitungan tiga, ayo lihat bersama.”
“Hm, hm.”
“Satu, dua, tiga~”
Dengan teliti mereka melihat hasil pembagian kelasnya.
Mulai dari kelas 3-1.
Debar jantung saat belum menemukan namanya sendiri rasanya benar-benar tidak tertahankan. Tiap tahun selalu terasa begitu.
Tapi, rasa sedih pada tahun ini tidak terasa begitu lama.
Murid laki-laki kelas 3-1, nama pertama yang ia lihat adalah “Kanda Sorata”, dan dibagian atas terlihat nama “Akasaka Ryuunosuke”.
Tangan Sorata menggenggam mantap.
Seseorang di sampingnya menarik lengan bajunya.
Yang berdiri di sampingnya adalah Nanami, matanya terlihat seperti menangis.
“Aoyama di kelas mana?”
“Sekelas! Kita sekelas!”
Nanami langsung mengeluarkan suara yang gembira sambil meloncat-loncat seperti anak kecil.
Sorata melihat bagian murid perempuan kelas 3-1. Ternyata memang benar, bagian paling atas tertulis “Aoyama Nanami”. Mereka benar-benar sekelas.
“Ternyata memang ada hal seperti ini, ya.”
“Hmm … sepertinya keberuntungan memang kadang terjadi.”
“Ya, sepertinya begitu.”
Karena terjadi banyak hal yang tidak di duga, jadi Sorata cuma mengangguk-anggukkankepala saat Nanami berbicara. Walau cuma hal yang kecil, tapi tetap terasamembahagiakan. Terpikir kalau rasanya ada arti yang sangat besar bahwa di dunia ini masih ada harapan.
“Jangan-jangan memang sengaja dibuat sekelas, ya.”
Kemungkinannya sangat tinggi, karena rasanya terlalu beruntung juga bisa sekelas seperti itu. Tapi apapun itu, sudah tidak penting lagi.
Bisa sekelas, itulah yang penting.
Tapi, sesuatu pasti ada sisi baik dan buruknya.
Melihat hasil pembagian kelas, mereka melihat sesuatu yang menarik perhatian.
Wali kelas.
“Aku melihat nama Koharu-sensei, apa tidak salah?”
“Aku pikir itu memang kenyataan.”
“Tapi, membiarkan orang itu menjadi wali kelas tiga, apa tidak akan ada masalah?”
“Aku rasa bakal ada masalah.”
Bahkan Nanami yang biasanya tidak membicarakan keburukan orang lain pun memberikan pendapat yang sama.
Apa dia bisa membimbing siswa dengan benar … rasanya tidak yakin.
“Shiina-sa~n”
Saat mereka bertiga baru saja ingin meninggalkan papan pengumuman, terdengar suara yang semangat dan ceria.
Fukaya Shiho yang merupakan siswi jurusan seni berlari kecil ke arah mereka. Rambuttwintail-nya berayun-ayun seperti telinga binatang.
“Syukurlah, Shiina-san! Kita sekelas lagi!”
Saking senangnya Shiho sampai ia mengeluarkan suara “hesho!!” sambil memeluk Shiina.
“Jurusan seni selama tiga tahun pun pasti sekelas terus, kan.”
Karena jumlah muridnya cuma 10.
“Huwa, Kanda-kun, teganya! Kalimatmu tadi jelas-jelas merendahkan jurusan seni, tahu! Aku memintamu meminta maaf dari lubuk hatimu yang terdalam!”
“Aku juga.”
“Huh? Shiina juga?”
“Aku mau baumkuchen.”
“Kau hanya lapar!”
“Hmm.”
“Oh, kau benar-benar merasa tidak senang, ya.”
Walaupun susah menebak emosinya, tapi Sorata yakin dia sedang marah, karena saat ini Sorata sudah mulai bisa menebak emosi Shiina.
“Aku juga ingin sekelas dengan Sorata.”
Mashiro sekarang terlihat kesepian.
“Nanami curang.”
“A-aku?”
“Jadi, Kanda-kun, minta maaf dengan sungguh-sungguh sekarang.”
“Maaf.”
Ia sudah tidak tahu ia meminta maaf untuk apa lagi.
Mashiro dengan benci melihat papan pengumuman yang berisi hasil pembagian kelas.
Dan saat ini bel masuk sudah berbunyi.
“Kita harus cepat masuk kelas.”
Mereka mulai berjalan masuk ke kelas.
“aku ingin sekelas dengan Sorata.”
Saat ini, Mashiro mengatakannya dengan suara yang tidak jelas dan aneh.
***

Setelah menaruh barang di kelas, semuanya langsung terburu-buru menuju ke stadium untuk upacara pembukaan semester baru.
Mendengar kata sambutan dari Kepala Sekolah, Sorata menguap sekitar tiga kali.
Sehabis selesai upacara pembukaan semester baru, di meja sudah ada undian tempat duduk, dan siswa mengambilnya untuk menentukan tempat duduknya.
Sorata duduk di barisan dekat jendela urutan nomor dua. Tidak tahu karena beruntung atau apa, tempat duduk Nanami berada di samping Sorata.
“Kenapa hanya hal seperti ini yang berjalan lancar, ya.”
Nanami menghela napas ketika melihat wajah Sorata.
“Apa aku melakukan hal yang salah?”
“Mungkin ini memang berkah dari Tuhan untukku.”
“… Kau bicara apa sih?”
“Tapi Kanda-kun masih seperti itu, mungkin bukan berkah Tuhan juga.”
“Bisakah setidaknya aku diberitahu kenapa aku dikomentari seperti itu?”
“Tidak mau, ah.”
Ditolak dengan cantik.
Walaupun begitu, Nanami tetap terlihat senang, dan sebelum wali kelas Koharu-sensei masuk ke kelas, ia juga sempat mengobrol Takasaki Mayu dan Honjou Yayoi yang sekelas lagi.
“Baik~ silahkan kembali ke tempat duduk masing masing~”
Koharu-sensei yang mengajar sastra Jepang mengatakan hal itu dengan nada santai danmalas.
“Ah, masih ada satu tempat duduk kosong, siapa yang belum mengambil undian?”
Siswa yang berada di kelas sudah duduk semua, dan ada satu bangku kosong di belakang Sorata. Siapapun pasti akan iri pada orang yang bisa duduk di tempat paling populer itu.Lucunya, itu merupakan tempat duduk Akasaka yang sejak hari pertama sudah tidak masuk. Bisa saja bangku itu kosong selama satu semester … sayang sekali.
“Ah~ Akasaka-kun, ya? Tidak dikira undian yang sisa itu merupakan tempat duduk yangpaling enak. Kalau begitu, maaf sudah menunggu lama. Selanjutnya, seperti biasa, akuakan membagikan lembar survei keinginan karir saat lulus pada tahun ketiga ini.”
Kertas yang kecil dari depan dioper sampai ke belakang.
“Minggu depan akan ada wawancara perorangan berkaitan dengan survey itu, jadi jangan tulis hal-hal konyol seperti “masa depanku terlalu cerah sampai aku tidak bisa melihatnya dengan jelas”, mengerti?”
Orang yang akan menulis seperti itu, sepertinya hanya alien saja.
Sorata mengeluarkan pensil ketik dari tasnya dan tanpa ragu langsung mengisi survei keinginannya, “Universitas Suimei Jurusan Seni, Departemen Media Art”.
Dibandingkan tahun lalu, sekarang sudah berbeda.
Dulu karena tidak tahu mau menulis apa di kertas kecil ini, jadi berpikir lama sekali. Tapi berkat hal itu, sekarang ia sudah menemukan tujuannya.
Nanami yang berada di sampingnya juga dengan cepat sudah selesai mengisinya, di kertasnya tertulis “Jurusan Teater”.
“Kanda-kun.”
Sambil mengangkat kepala, ia melihat Koharu-sensei berdiri di depannya.
“Ada apa?”
“Dimana Akasaka-kun?”
“Dia sudah masuk mode anti-sosial. Kalau mau bertemu dengannya lagi, mungkin semester depan.”
Laki-laki itu benar-benar tidak hadir satu semester penuh tahun lalu.
“Kalau begitu, bisakah Kanda-kun membantuku menanyakan pilihan karirnya?”
“Apa tidak ada pilihan untuk Sensei mampir ke Sakurasou dan menanyakannya sendiri?”
“Aku berbeda dengan Chihiro, bukan guru yang “berdarah panas” seperti dia, dan aku juga sibuk.”
“Sibuk mencari jodoh?”
“Nah, itu kau mengerti.”
Koharu-sensei sama sekali tidak merasa malu.
“Semoga sifat Koharu-sensei yang yang tidak tahu malu ini bisa menular sedikit ke aku.”
“Tanyalah Chihiro kalau begitu. Nih, ambillah, lembar survey karir Akasaka-kun.”
Setelah itu Koharu-sensei langsung kembali ke meja guru.
“Yah sudahlah, tidak masalah juga.”
Walaupun merasa Koharu sebagai guru yang agak aneh, tapi Sorata juga ingin sekalianbertanya ke Akasaka mengenai beberapa hal.
Dia mengeluarkan handphonenya dan mengirim email.
----- Akasaka, apa kau di sana~
----- Ada apa?
Balas Akasaka lewat email.
----- Pokoknya, tahun ini kita sekelas lagi. Aoyama juga.
----- Memang sebuah email yang tidak penting, ya.
----- Aku tahu kau akan berkata begitu. Ngomong-ngomong, survei keinginan karirmu saat lulus mau diapakan? Wali kelas kita Koharu-sensei memintamu mengumpulkannya.
----- Tulis saja Jurusan Perancang Program, lalu kumpulkan.
Gurunya seperti itu, muridnya juga sama saja. Memang cocok, ya.
----- Menghubungiku hanya untuk hal itu?
----- Tidak, aku juga ingin bertanya beberapa hal.
----- Apa? Bilang saja.
----- Aku berharap kau mau mengajariku tentang merancang program. Aku tidak begitumengerti buku tentang komputer yang kau berikan itu, di buku itu tidak ada sama sekali kata tentang “game”!
Pemrograman komputer, program membaca karakter C … semacam itu yang membuat orang bertanya-tanya “bagaimana mungkin hal seperti ini menarik?”
----- Oh, kau baru sadar sekarang.
----- Jadi selama ini kau menipuku!
----- Ini berarti Kanda sudah mengerti sedikit tentang pemrograman.
----- Apa aku sedang dipuji?
----- Aku tidak memujimu.
----- Sudah kuduga!
----- Apa kau sudah menyerah membuat proposal untuk “Let’s Make a Game!”?
----- Aku akan terus melanjutkannya, kalau ada saran yang bagus aku akan ikuti. Akuakan lebih belajar prosesnya dan tidak terlalu terpaku pada hasil.
----- Aku mengerti. Sekarang, kau ingin platform apa?
----- Aku ingin menggunakan Creator’s Family, bagaimana menurutmu?
Kalau ingin membuat sesuatu, lebih baik bukan mobile game ataupun game PC, tapi game konsol, dan juga harus menyesuaikan pada konsol zaman sekarang.
Creator’s Family adalah aplikasi untuk membuat game yang disediakan secara gratis, sangat cocok untuk Sorata. Apalagi, aplikasi itu memiliki tempat para pembuat game mengunggah rancangannya untuk diuji oleh orang lain.
----- Mau membuat game tipe apa?
Ia sudah memikirkan ini sebelumnya.
----- Game tipe shooting.
----- Jadi itu, setidaknya kau memang sudah membaca buku yang sudah aku berikan.
----- Yah, kalau tidak mempersiapkan diri dengan mempelajari dasar-dasarnya, akan susah untuk bicara denganmu.
Dari sekian buku Akasaka, ada satu buku yang menyinggung tentang pembuatan game.
----- Mengendalikan objek yang kompleks, menggerakkan karakter dan menembak menggunakan UI (User Interface), metode tentang terkena atau tidaknya peluru, pola pikir musuh CPU … itu adalah tipe game yang menggunakan banyak teknik dasar pemrograman game. Ditambah lagi, walaupun skala kecil, tapi sesuatu yang layak dimainkan masih bisa dibuat. Sebagai game yang dibuat untuk tujuan belajar, itu sangat cocok.
----- Dan terus terang, apa diriku yang sekarang dapat membuatnya?
----- Kau sudah mengerti penggunaan [if] dan [for] ‘kan?
----- Hmm.
Itu merupakan syarat utama.
----- Cukup dengan memahami hal itu, kau sudah bisa membuat sebuah game.
----- Apa benar begitu?!
----- Tunggulah tiga hari. Aku akan menyiapkan program utama yang bahkan Kanda bisa menggunakannya dengan mudah untuk membuat game.
----- Apa kau berencana untuk membuat sesuatu yang sangat hebat?
----- Cuma program yang kosong. Tapi aku akan mengatur fungsi untuk objek gambar, pengontrol, BGM , SE, dan lain-lain. Aku akan membuat mereka berfungsi dengan mudah.
Sorata masih tidak terlalu mengerti apa yang dia katakan.
----- Intinya?
----- Intinya yaitu Kanda bodoh karena belum mengerti apa yang aku katakan.
----- Aku tidak mau mendengar inti seperti itu!
----- Program yang hanya menggunakan loop utama, menggunakan perintah sederhana untuk menampilkan gambar dan memainkan musik.
----- Aku rasa aku mengerti dan tidak mengerti di saat yang sama.
----- Kalau begitu tunggu saja sambil memikirkan desain game yang akan kau buat nanti.
----- Ok. Apakah tidak apa-apa Akasaka membantu sampai sejauh ini? Sepertinya bakal melompati banyak langkah.
Dan ia juga merasa kalau terlalu banyak dibantu Akasaka, maka tidak bisa disebut membuat game sendiri.
----- Kanda tidak ingin menjadi programer kan?
----- Yah, begitulah.
----- Maka tidak masalah. Untuk pengetahuan dasar seperti mesin game atau penggunaan aplikasi, mengerti programnya saja sudah cukup, sisanya akan aku serahkan pada Maid-chan.
----- H-halo, Akasaka!
Sorata dengan cepat mengirim email, dan tak sampai satu detik sudah muncul balasan.
----- Ciao, Maid-chan di sini!
----- Seenaknya sekali!
----- Kalau begitu, biar saja saya yang jelaskan pada Kanda-sama bagaimana situasi di industri game akhir-akhir ini.
----- Kenapa tiba-tiba jadi serius!
----- Apakah Sorata-sama tahu apa itu mesin game?
----- Mesin sebuah game.
----- Benar! Seperti itu! Sorata-sama pintar sekali! Tidak, apa kau mau saya pukul?!
Bisa mengejek bahkan di saat seperti ini, Maid-chan memang menakutkan. Kinerjanya benar-benar tingkat tinggi.
----- Jika memakai kata-kata yang bahkan dapat dimengerti oleh Sorata-sama, bayangkan Tkool4 yang digunakan oleh banyak industri.
----- Hmm, kalau begitu sudah bisa dibayangkan.
----- Pembuatan game yang dulu adalah dengan meminta programmer menulis kode program untuk mengurus berbagai hal. Tapi akhir-akhir ini mesin game yang baru diciptakan untuk bisa menangani semuanya, tentu sebuah kinerja kerja yang luar biasa.Terutama untuk industri game luar negeri, ini merupakan cara kerja yang paling bagus.Jadi, pekerjaan programmer seperti Ryuunosuke-sama tidak hanya mengikuti langkah buku rancangan seperti “menaruh di sini” atau “bergerak seperti ini”, tapi perkejaan utama seperti mencampur proses perhitungan fisik operasi kontrol pada mesin game dan juga perbaikannya. Lalu, dengan menggunakan mesin game yang “mengonfigurasi musuh”, cara berpikirnya, juga kemampuannya. Dengan kata lain, orang yang membuat dan mengatur ‘panggung’ adalah seorang “Level Designer”. Keuntungan dari cara kerja seperti ini, selain bisa meningkatkan kinerja kerja yang luar biasa, orang yang menulis desain juga bisa dengan lebih mudah membuat gamenya. Semisal jika memperhatikan cara berpikir perancang dan programmer, tidak peduli dokumen proposalnya seperti apa, atau menjelaskan sedetil apa, pasti akan ada sesuatu yang tidak tersampaikan. Situasi yang paling buruk itu adalah ketika si perancang dan insinyur bertengkar seperti “kenapa kau tidak mengerti sih?” atau “kalau begitu coba buat saja sendiri!”.
Benar, memang besar kemungkinan hal seperti itu akan terjadi. Kesulitan saat membuatnya, kecemasan saat presentasi, Sorata sudah merasakannya saat mengumpulkan hasil rancangan “Let’s Make a Game!”.
----- Jadi, berdasarkan percakapan yang tadi, aku sudah bisa menjadi seorang Level Designer?
----- Ya, benar. Kalau ingin mengerjakan semuanya hanya sendiri, tidak ada cara lain selain harus sehebat Ryuunosuke-sama. Kalau tidak, tidak mungkin bisa mengerjakan sendiri, kau tahu? Intinya, itu hal yang tidak mungkin untuk Sorata-sama!
Percakapan dipotong dengan paksa. Memang, kalau ingin sehebat Ryuunosuke, jiwanya mungkin sudah mati menderita. Dari percakapannya dengan Ryuunosuke sampai sekarang, tentu saja yang bisa membuat AI hebat seperti Maid-chan bukanlah manusia biasa.
----- Terima kasih Maid-chan, aku akan menunggu Akasaka tiga hari lagi sambil memikirkan desain gamenya.
----- Sorata-sama yang bersikap patuh seperti ini boleh juga.
----- Mendengar itu tidak membuatku senang sedikit pun!
Walaupun membalas email berkali-kali, maidd chan tetap tidak membalas.
“Tidak disangka aku dipermainkan oleh sebuah AI …”
Pokoknya, yang bisa dikerjakan, dikerjakan saja dulu. Sorata menulis survei keinginankarir milik Ryuunosuke dengan “Jurusan Perancang Program”.
“hei, Kanda-kun.”
Nanami yang berada di samping Sorata memanggilnya.
“Kau belum bertanya universitas keinginan Mashiro setelah dia lulus?”
“Huh? Ah, iya, aku belum bertanya.”
Kalau Mashiro yang jenius dalam dunia seni, tidak peduli berapapun nilainya, dia mungkin bisa masuk ke Universitas Suimei dengan mudah.
Juga, karena ulangan tengah semester dan akhir semesternya mendapat nilai nol,mungkin dia akan masuk ke Universitas Suimei dengan mengandalkan bakat lukisnya itu….
Bakat lukisnya Mashiro memang sangat hebat. Universitas pun pasti berharap Mashiro untuk mendaftar ke sana.
Tapi, melihat Mashiro yang menghabiskan waktu setahun ini untuk membuat komik, Sorata tidak yakin Mashiro akan memilih untuk masuk ke universitas. Pasti dia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk komik.
Sekali lagi Sorata mengeluarkan handphonenya dan mengirim email ke Mashiro.
----- Bagaimana dengan pilihan universtasmu?
Tapi, sebelum mengirim email itu, Sorata berpikir lagi, dan akhirnya ia menghapusnya.
Ia melakukan itu karena ia menunggu kesempatan berikutnya untuk bertanya kepada Mashiro.
Baru saja ia berpikir begitu, bel berbunyi menandakan berakhirnya jam wali kelas.

“Baiklah~, kalau begitu hari ini sampai sini saja~”


0 comments:

Post a Comment